JMDN logo

Membangun Resistansi melalui Algoritma

📍 Berita & Informasi
7 September 2025
6 views
Membangun Resistansi melalui Algoritma

Jakarta, 07/9 (ANTARA) - Tagar #ResetIndonesia menggema di berbagai platform media sosial dalam sepekan terakhir,  sebagai bentuk ekspresi dari akumulasi keresahan masyarakat, yang bertujuan menuntut perubahan tata kelola negara secara sistemik dan menyeluruh.


Dalam gerakan kali ini, tagar #ResetIndonesia barangkali menjadi deretan akhir yang lahir. Sebelumnya, masyarakat sudah memobilisasi berbagai tagar, seperti #BubarkanDPR yang muncul karena tunjangan, tindakan, dan pernyataan anggota dewan yang dinilai nirempati terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat.


Juga ada #PolisiPembunuh dan #JusticeforAffan yang merupakan kemarahan masyarakat terhadap insiden kendaraan taktis (rantis) Brimob melindas pengemudi ojol dan merenggut nyawa Affan Kurniawan.


Keresahan warga yang direspons dengan tindakan tegas aparat dan suara pejabat negara yang belum memenuhi tuntutan warga kemudian melahirkan tagar #ResetIndonesia.


Di sela berbagai tagar tuntutan, juga ada tagar aksi solidaritas seperti #WargaJagaWarga dan #SipilJagaSipil, yang mengingatkan untuk tidak terjebak dengan disinformasi, marginalisasi kelompok identitas, seruan penjarahan, hingga dugaan mobilisasi menuju darurat militer.


Pada saat yang sama, terdapat #BravePinkHeroGreen yang terinspirasi dari warna hijab seorang demonstran yang menghadapi pasukan polisi serta warna ojol sebagai penghormatan terhadap Affan. Kedua warna ini kemudian secara kolektif digunakan sebagai simbol solidaritas dan identitas visual gerakan.


Berbagai tagar itu menunjukkan tingginya partisipasi masyarakat dalam gerakan kolektif aktivisme digital. Hal ini tak mengherankan bila mengingat Indonesia memiliki basis pengguna media sosial yang tinggi.


Suara nyaring di media sosial itu tentu bukan hanya sekadar angin lalu. Masyarakat Indonesia secara sadar dan aktif memanfaatkan algoritma media sosial untuk membangun resistansi dalam menghadapi dinamika politik kali ini.


Memahami mobilisasi dalam algoritma


Algoritma dalam mobilisasi politik hadir selayaknya koin, menawarkan bukan hanya satu melainkan dua sisi yang tak bisa dipisahkan.


Salah satu sisi algoritma berpihak kepada yang memiliki kuasa. Seperti yang disorot oleh akademisi Australia National University, Ross Tapsell, dalam artikelnya “Social Media and Information Abundance” (2025).


Ia menjabarkan polah elite menguasai platform digital dengan kampanye disinformasi dan polarisasi demi kepentingan politik mereka. Kampanye digital ini dilakukan dengan mengorganisir kelimpahan informasi (information abundance) melalui pendengung (buzzer) hingga pemengaruh (influencer), dan telah terlihat di Indonesia sejak 2014.


Senada, akademisi Indonesia di Carleton University, Kanada, Merlyna Lim, dalam tulisannya “From Activist Media to Algorithmic Politics” (2023), menyatakan pertumbuhan populasi daring yang masif turut dibarengi dengan peningkatan kemampuan pemerintah dalam mengendalikan teknologi.


Meski begitu, kelompok penguasa bukan pemain tunggal. Kelompok yang ingin menantang status quo menempati sisi lain koin algoritma dalam mobilisasi politik.


Dalam rangkaian aksi kali ini, masyarakat sipil yang memberikan tuntutan kepada pejabat negara menjadi aktor yang dominan dalam jejaring mobilisasi digital.


Hal ini tercermin dari analisis Drone Emprit, dilansir dari akun X @DroneEmpritOffc. Satu contoh terkait insiden Brimob melindas ojol menunjukkan insiden ini dibicarakan sebanyak 17 ribu kali pada periode 28–29 Agustus 2025. Interaksi ini dilakukan oleh pengguna media sosial yang tersebar di X, YouTube, Facebook, Instagram, dan TikTok. Sebanyak 97 persen dari interaksi itu menunjukkan sentimen negatif, hanya 3 persen yang netral dan 1 persen positif.


Drone Emprit juga menganalisis sentimen isu di media daring yang sebarannya lebih merata dengan porsi 50 persen positif, 46 persen negatif, dan 4 persen netral.


Dominasi 97 persen sentimen negatif dalam media sosial menunjukkan bahwa narasi tandingan tidak berhasil mengambil porsi dalam gerakan digital ini, meski sejumlah tokoh negara telah menyampaikan permohonan maaf dan bela sungkawa.


Akan tetapi, tren yang berbeda terlihat dalam gerakan #BravePinkHeroGreen. Sebaran sentimen di media sosial mulai terdistribusi, dengan persentase 62 persen positif, 17 persen negatif, dan 21 persen netral.


Sentimen positif membahas warna sebagai simbol perlawanan sekaligus solidaritas. Sedangkan sentimen negatif memperdebatkan kontroversi figur dari warna dan anggapan bahwa gerakan muncul dari revolusi yang tidak organik.


Tagar #BravePinkHeroGreen menunjukkan narasi tandingan mulai bermain dan mengambil porsinya.


Tentu, tak bisa serta merta disimpulkan narasi negatif ini berasal dari kelompok penguasa, mengingat argumen yang muncul membawa nilai etika yang telah menjadi budaya luhur masyarakat.


Akan tetapi, keraguan orisinalitas gerakan muncul seusai video deepfake figur warna beredar dengan membawa narasi politis.


Seperti yang disorot oleh Vishal Jain dan Archan Mitra, dalam “The Role of Social Media in Shaping Neo-Propaganda for Populist Movement” (2025), manipulasi melalui konten hasil produksi akal imitasi (AI) seperti deepfake menjadi salah satu alat kontrol wacana politik dengan melibatkan konten yang memancing emosi dan polarisasi.


Gerakan kolektif melalui algoritma


Masyarakat sipil menjadi aktor dominan dalam mobilisasi digital kali ini. Bagian penting yang perlu dicatat adalah dominasi masyarakat sipil ini tidak hanya berhenti pada menyuarakan tuntutan, tetapi juga membangun resistansi.


Ketika ketegangan aksi demonstrasi memuncak, muncul kekhawatiran berulangnya tragedi tahun 1998. Trauma kolektif masyarakat berbuah aksi solidaritas perlindungan horizontal.


Pengguna media sosial rajin memproduksi konten #WargaJagaWarga dan #SipilJagaSipil. Jenis konten pun beragam, termasuk di antaranya menyebarkan informasi perlindungan, baik perlindungan hukum maupun kesehatan fisik dan mental.


Pengguna pun rajin mengingatkan pengguna lainnya untuk mengambil jeda dan tetap menjalankan kehidupan pribadi agar tidak kalut dengan melimpahnya informasi soal aksi.


Konten-konten itu disebarkan melalui templat Instagram Story; video TikTok, Reels, maupun YouTube; hingga cuitan di X maupun Facebook. Konten diunggah berkali-kali dan mendapat interaksi tinggi, hingga akhirnya penyebaran pesan terjadi secara luas dan masif.


Efektivitas dari interaksi konten yang tinggi juga terlihat pada aksi kolektif mendukung ketahanan ojol di tengah gelombang demonstrasi.


Cuitan pengguna X @sighyam yang membuat panduan membeli makanan untuk ojol melalui negara yang berbeda mendapatkan interaksi tinggi, sebanyak 1.700 ribu reply, 77 ribu repost, dan 154 ribu likes per artikel ini ditulis. Berbagai bukti tangkapan layar pemesanan hingga video reaksi para ojol memancing solidaritas yang lebih kuat untuk mereproduksi aksi ke ojol di berbagai platform dan wilayah.


Hal ini sejalan dengan temuan Inaya Rakhmani dkk dalam “Refleksi Geografi Digital: COVID-19, Perempuan, dan Jaringan Pangan Informal” (2023) bahwa teknologi digital bisa memperluas partisipasi ekonomi-politik warga biasa dengan memberikan ruang terhadap praktik alternatif redistribusi kekuasaan dan kesejahteraan. Bahkan dalam gerakan ini, praktik alternatif itu terjadi lintas geografis.


Selain itu, bentuk resistansi juga berupa konten sanggahan disinformasi, seperti ajakan demo palsu hingga deepfake figur dari warna gerakan #BravePinkHeroGreen. Analisis mengenai vandalisme pun turut disebarkan.


Konten-konten tersebut bertujuan memperluas kesadaran masyarakat terkait risiko kekerasan, kerusuhan, dan perpecahan, sekaligus mengajak publik untuk kembali memusatkan perhatian pada tuntutan perbaikan negara.


Gerakan menyebarkan sanggahan disinformasi ini menjadi bentuk resistansi masyarakat yang progresif. Tapsell (2025) mengatakan salah satu strategi kelompok penguasa dalam manipulasi digital adalah dengan membanjiri informasi yang sesuai dengan agenda politiknya untuk menutupi narasi oposisi.


Dengan strategi yang sama, masyarakat membanjiri informasi melalui produksi dan reproduksi konten guna menghambat penyebaran disinformasi.


Sebagaimana yang dicatat oleh Lim dalam “Social Media and Politics in Southeast Asia” (2024), perlawanan terhadap ancaman hegemoni bisa dilakukan oleh mereka yang terampil memanfaatkan alat dan teknologi digital.


Menurut Lim, ruang digital tidak bisa menjadi perangkat tunggal dalam mendorong reformasi, terutama dalam rezim otoriter yang resistan terhadap perubahan. Pun, sebaliknya, teknologi ini tidak bisa membuat otoritarianisme terwujud bila ada kekuatan tandingan yang melakukan perlawanan, baik kelembagaan maupun akar rumput (grassroot).


Bisa disimpulkan, tidak ada yang absolut dalam dinamika politik yang berkelindan dengan teknologi.


Bukti dari premis tersebut bisa terlihat pada “17+8 Tuntutan Rakyat”, yang berhasil membuat DPR mengambil tindakan sebagai respons tuntutan sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan oleh gerakan sipil.


Memang, itu belum menjadi akhir dari perjuangan. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan oleh negeri ini.


Akan tetapi, perkembangan ini bisa dipahami sebagai buah hasil gerakan kolektif masyarakat dalam menuntut evaluasi tata kelola negara.


Menyadur tulisan Lim, dalam konteks perkawinan teknologi dan politik, perubahan bisa hadir dengan konsistensi kolektivitas yang tetap teguh memperjuangkan keadilan.


Dinamika ke depan masih akan ditentukan oleh sikap tiap aktor yang terlibat dalam proses demokrasi ini. Namun, gerakan masyarakat dalam membangun resistansi melalui ruang digital perlu mendapat pengakuan.


Keterampilan masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial sudah sepatutnya menjadi salah satu instrumen menjaga Indonesia untuk tetap berada dalam jalur demokrasi. (ANTARA/Imamatul Silfia)

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer