Pengamat: Penyusunan Aturan Sound Horeg Harus Berbasis Keadilan

Malang, Jawa Timur, 28/7 (ANTARA) - Pengamat politik dan kebijakan dari Universitas Brawijaya Andhyka Muttaqin menyatakan regulasi sound horeg yang masih dibahas oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur harus mengedepankan prinsip keadilan dan aplikatif.
Andhyka di Kota Malang, Jawa Timur, Senin, menyampaikan regulasi sound horeg perlu mencakup soal kepastian hukum, partisipasi masyarakat, mekanisme perizinan, hingga sanksi yang bersifat proporsional.
"Regulasi yang baik tidak hanya tegas, tapi juga adil, aplikatif, dan jelas," kata Andhyka.
Penyusunan regulasi yang mengedepankan keadilan dan aplikatif untuk meminimalkan terjadinya kerancuan dalam langkah penerapan.
Dia menjelaskan untuk kepastian hukum harus ada definisi tegas dan tidak multitafsir terkait apa itu sound horeg, seperti aturan soal ukuran kebisingan atau tingkat desibel yang perlu dibakukan.
"Misalnya juga membedakan antara hiburan rakyat dengan gangguan ketertiban umum," ujarnya.
Kemudian, mengenai partisipasi masyarakat di dalam penyusunan regulasi tersebut, maka Pemprov Jawa Timur mesti melibatkan komunitas sound system, tokoh masyarakat, serta warga yang terdampak.
Langkah itu untuk meningkatkan legitimasi kebijakan. Terpenting juga agar tidak memunculkan resistensi sosial.
"Alih-alih pelarangan total pemerintah bisa menetapkan izin terbatas, misalnya hanya boleh digunakan di jam tertentu serta jauh dari area padat permukiman," ucapnya.
Pemprov perlu mendetailkan penerapan sanksi kepada pelanggar aturan, melalui teguran tertulis, pembekuan izin, hingga denda.
"Pelibatan Satpol PP dan kepolisian harus mengedepankan edukasi sebelum penindakan," kata dia.
Selain itu, Andhyka menambahkan bahwa regulasi yang sedang dipersiapkan perlu memperhatikan konteks kultural dan tetap menaruh keberpihakan kepada seluruh lapisan masyarakat.
"Jadi keadilan sosial dan budaya lokal, sering kali sound horeg ini menjadi bagian dari kegiatan hajatan pernikahan maupun khitanan," ucap dia.
Mengingat regulasi masih belum ada, dia menyarankan agar pemerintah di masing-masing daerah untuk menyusun strategi jangka pendek dengan mengoptimalkan penerapan Peraturan Daerah (Perda) Ketentraman dan Ketertiban Umum (Trantibum).
"Sebenarnya ini cukup kuat untuk digunakan sebagai dasar penertiban. Namun, perlu ditegaskan kembali soal teknis batas kebisingan, waktu penggunaan, dan sanksi ringan yang bisa diterapkan," ujarnya.
Pemda, disarankannya melakukan sosialisasi, edukasi, dan pendekatan persuasif dengan tujuan membangun kesadaran masyarakat luas.
"Dan jika memungkinkan, dibuatkan zona tertentu di desa atau kecamatan yang memang diperuntukkan sebagai tempat hajatan, sehingga tidak mengganggu pemukiman," tutur dia. (ANTARA/Ananto Pradana)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.