JMDN logo

Filosofi Air dari Sungai Jiwata Jadi Penerang Ekonomi Kampung

📍 Innovasi Desa
21 Oktober 2025
45 views
Filosofi Air dari Sungai Jiwata Jadi Penerang Ekonomi Kampung

Kutai Timur, 21/10 (ANTARA) - Suara itu tak pernah berhenti, menemani harmoni hidup Desa Tepian Terap, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Bukan deru mesin diesel yang memekakkan telinga, melainkan dengung konstan dari bangunan kecil di tepi Sungai Jiwata.


Dengung yang merambat ke nadi-nadi ekonomi warga desa itu getaran turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang mengubah derasnya aliran air menjadi cahaya dan kehidupan.


"Inilah sungai yang betul-betul mengalirkan cahaya dalam kehidupan kami," ujar Rahman kepada ANTARA, Senin (20/10/2025), menegaskan betapa pentingnya sumber listrik dalam sendi kehidupan warga kampung.


Dari sudut desa, kedai kopi sederhana milik Rahman dengan lampu bohlam 10 watt memancarkan cahaya kuning hangat, cukup untuk menerangi papan catur dan wajah-wajah yang berpikir.


Di dalam rumah panggung kayu, seorang ibu bisa menyelesaikan pesanan kue hingga larut malam, sementara anak-anaknya belajar tanpa harus akrab dengan temaram lampu pelita seadanya.


Semua kemewahan sederhana ini --listrik yang menyala 24 jam-- ialah buah dari kemandirian yang dipaksa oleh keadaan.


Terpencil di seberang teluk Sangkulirang, sekitar 154 kilometer atau empat jam perjalanan darat dari Sangatta, ibu kota kabupaten Kutai Timur, Desa Tepian Terap dengan 1.300 jiwanya seolah menjadi titik buta di peta elektrifikasi nasional.


Selama puluhan tahun, janji tentang tiang-tiang listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menjangkau pedalaman Borneo masih ibarat api yang masih jauh dari panggang. 


Dalam keterasingan itu, warga tak memilih pasrah. Mereka memegang sebuah filosofi yang diajarkan oleh alam sekitar: hidup layaknya air yang mengalir, mencari celah dan jalan keluar untuk menerobos kebuntuan.


Sungai Jiwata, yang selama ini hanya menjadi sumber air dan jalur transportasi, dilihat dengan cara baru. Di dalam arusnya yang deras, tersimpan energi yang bisa dibebaskan.


Kades Eko dengan bangga menyebutkan bahwa kemandirian elektrifikasi telah melahirkan setidaknya 33 usaha mikro baru di desanya. Ada toko kelontong yang bisa menjual es batu, bengkel motor yang bisa beroperasi di malam hari, usaha pembuatan kue yang tak lagi terbatas waktu, hingga jasa pertukangan yang kini bisa menggunakan peralatan listrik modern.


"Listrik dari sungai telah mengubah Tepian Terap dari desa yang terisolasi menjadi ekosistem ekonomi kecil yang berdenyut," terang Eko.


Turbin penggerak ekonomi


Upaya pertama dimulai pada 2013. Dengan semangat gotong royong dan bantuan dana desa lewat program PNPM, pemerintah desa dan warga membangun sebuah pembangkit listrik sederhana. Mereka menggunakan kincir air raksasa untuk memutar generator.


Harapan sempat membuncah saat lampu-lampu pertama kali menyala. Namun, euforia itu tak berlangsung lama.


Sungai Jiwata, sumber kehidupan itu, ternyata juga punya daya rusak yang dahsyat. Saat musim hujan tiba dan volume air melonjak, arus yang terlalu deras justru menghancurkan kincir air yang menjadi tumpuan harapan. Desa kembali gelap. Listrik pun pernah padam selama setahun penuh.


"Setelah satu tahun kincir air penggerak generator listrik rusak, kami tidak menyerah," kenang Eko Sutrisno, Kepala Desa Tepian Terap kepada ANTARA.


Kegagalan itu menjadi pelajaran. Mereka sadar, untuk menaklukkan energi sungai, dibutuhkan teknologi yang lebih tangguh.


Pada 2015, melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang baru dibentuk, mereka mengambil langkah lebih berani. Sebagian dana desa dialokasikan untuk membeli sebuah turbin PLTMH yang lebih modern dan tahan banting.


"Inilah titik balik sesungguhnya. Sejak turbin itu dipasang, detak jantung desa mulai berdenyut stabil," tutur Eko.


Di bawah manajemen BUMDes Jiwata Energi Tepian Terap, sistem kelistrikan mandiri ini dikelola secara profesional. Kabel sepanjang tiga kilometer ditarik dari rumah turbin, melintasi kebun dan jalanan desa.


Tiang-tiang kayu sederhana, ditancapkan oleh warga sendiri, menjadi penyangga kabel yang mengalirkan listrik ke lebih dari 200 rumah.


"Untuk meteran listrik (APP), kami sediakan secara gratis kepada masyarakat yang ingin memasang. Warga tinggal bayar iuran bulanan saja," jelas Anwar, Direktur BUMDes Jiwata Energi Tepian Terap.


Model bisnisnya sederhana tapi efektif. Warga membayar iuran bulanan antara Rp100 ribu hingga Rp400 ribu, tergantung besaran ampere yang digunakan.


Angka itu, menurut Anwar, jauh lebih terjangkau dibandingkan jika mereka harus bergantung pada mesin genset pribadi yang boros bahan bakar minyak. Dari iuran tersebut, BUMDes mampu membiayai operasional, termasuk menggaji teknisi sebesar Rp5 juta per bulan untuk menjaga dan merawat mesin turbin.


Hasilnya melampaui sekadar penerangan. Listrik yang stabil selama 24 jam menjadi katalisator ekonomi.


Berdaya dalam keterbatasan


Setelah hampir satu dekade berjalan, PLTMH Jiwata mulai menunjukkan usianya. Kebutuhan listrik warga yang terus meningkat membuat turbin berdaya 100 kilovolt ampere (kVA) itu seringkali mengalami kelebihan beban.


Di sisi lain, sebuah kabar yang dulu hanya angan-angan, kini mulai terdengar nyata: PLN akan segera masuk desa.


Penegasan datang langsung dari Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman. Akhir tahun ini ada 13 desa lagi yang akan disalurkan listrik, termasuk Desa Tepian Terap.


"Desa yang selama puluhan tahun berjuang sendiri kini masuk dalam daftar prioritas," ucap Ardiansyah.


Kerja sama antara pemerintah daerah dan PT PLN Wilayah Kalimantan Timur akhirnya membuahkan hasil. Team Leader Perencanaan Listrik Perdesaan PT PLN Wilayah Kaltim, Agus Rudianto, mengonfirmasi bahwa dari 141 desa di Kutim, masih ada 26 desa yang belum teraliri listrik negara, dan Tepian Terap adalah salah satunya yang segera dijangkau.


"Iya, salah satu yang kami terima siap untuk dialiri listrik Desa Tepian Terap. Tinggal menunggu titik-titik pembebasan lahan pemasangan tiang listrik di wilayah sana," kata Rudianto.


Harapan itu disambut dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, kehadiran PLN dengan daya listrik yang jauh lebih besar dan stabil adalah sebuah kemajuan yang tak bisa ditolak.


Ini membuka peluang ekonomi yang lebih besar lagi. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran tentang nasib PLTMH yang telah menjadi simbol kemandirian dan kebanggaan desa.


Anwar, Direktur BUMDes setempat menegaskan bahwa detak jantung desa tak akan berhenti begitu saja.


"Kalau ada PLN masuk, kami ini (PLTMH) tetap berlanjut. Saya pikir tetap ada masyarakat yang butuh listrik dengan harga yang lebih murah," tutur Anwar.


Logikanya masuk akal. PLTMH bisa menjadi sumber listrik sekunder atau alternatif yang lebih ekonomis bagi warga yang kebutuhannya tidak terlalu besar.


BUMDes Jiwata Energi kini harus memutar otak, mencari cara agar turbin di tepi Sungai Jiwata tidak terbengkalai dan tetap relevan. Mungkin ia bisa menjadi pemasok listrik untuk fasilitas umum, atau menjadi pilihan bagi warga yang ingin menekan biaya bulanan.


Ceritera Desa Tepian Terap adalah potret perjuangan komunitas pedalaman di Indonesia. Mereka tak menunggu bantuan luar datang untuk mengubah nasib.


Dengan filosofi air, mereka mengukir takdirnya sendiri, mengubah aliran sungai menjadi arus listrik yang menyalakan ekonomi dan harapan warga kampung.


Apapun jawabannya kelak, dengung dari rumah turbin di tepi Sungai Jiwata selalu menjadi simbol bahwa dalam keterbatasan, selalu ada jalan keluar bagi mereka yang tak berhenti berusaha. (ANTARA/Ahmad Rifandi/ M Hafif Nikolas)

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul Filosofi Air dari Sungai Jiwata Jadi Penerang Ekonomi Kampung

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer