JMDN logo

Membangun Kepercayaan Publik Lewat Kinerja Tim Percepatan

📍 Politik dan Pemerintahan
28 September 2025
27 views
Membangun Kepercayaan Publik Lewat Kinerja Tim Percepatan

Mataram, 28/9 (ANTARA) - Tim Percepatan Nusa Tenggara Barat (NTB) baru saja dibentuk oleh pemerintah provinsi, dengan mandat besar, yakni mempercepat pencapaian visi pembangunan, mengurai simpul masalah kemiskinan ekstrem, memperkuat ketahanan pangan, serta mendorong desa berdaya.


Di atas kertas, keberadaan tim ini tampak menjanjikan, namun di balik gagasan tersebut, muncul pertanyaan mendasar, seberapa profesionalkah komposisi tim ini, dan mampukah ia menjawab tantangan nyata yang dihadapi masyarakat NTB?


Tim ini beranggotakan 15 orang dengan latar belakang akademisi, birokrat, hingga praktisi. Nama-nama itu, antara lain Dr. Adhar Hakim sebagai koordinator, Prof Ir Dahlanuddin, dan Prof Dr Sitti Hilyana menegaskan nuansa akademis, sekaligus teknokratis.


Pemerintah daerah menegaskan bahwa tim ini bukan sekadar “staf khusus berlabel baru”, melainkan motor analisis kebijakan serta penghubung antara visi kepala daerah dengan eksekusi organisasi perangkat daerah (OPD).


Misi utama yang diemban cukup jelas, untuk menekan angka kemiskinan ekstrem, menjaga ketahanan pangan, dan mempercepat transformasi desa mandiri. Dalam konteks NTB, target ini memang relevan.


Kemiskinan masih berada di angka dua digit, harga pangan sering berfluktuasi liar, dan sebagian desa masih jauh tertinggal. Karena itu, seberapa jauh tim percepatan mampu mengubah skema besar itu menjadi langkah nyata? Jawaban tersebut sangat bergantung pada konsistensi kerja, transparansi anggaran, dan kemampuan menjalin sinergi dengan mesin birokrasi.


Di banyak daerah, tim serupa kerap dipandang sebagai “tangan kanan politik” kepala daerah. Jika NTB tidak mampu menjaga jarak antara kepentingan politik dan profesionalisme, maka risiko publik kehilangan kepercayaan sangat besar. Sebaliknya, jika tim ini benar-benar bekerja berbasis data, ia bisa menjadi jembatan antara kebijakan strategis dan kebutuhan rakyat.


Profesionalisme


Sejak awal, Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaeda mengingatkan pentingnya profesionalisme. Kritik itu berangkat dari pengalaman bahwa di berbagai daerah, tim percepatan pernah berakhir sebagai wadah politik yang minim kontribusi.


Bahkan, di tubuh Tim Percepatan NTB, ada beberapa nama yang dikaitkan dengan tim sukses politik. Jika penunjukan lebih dipengaruhi faktor kedekatan dibanding kapasitas, potensi bias kebijakan hampir tak terhindarkan.


Meskipun demikian, keterlibatan akademisi senior dan mantan birokrat membawa secercah optimisme. Pengalaman riset dan pengelolaan birokrasi dapat memperkuat fondasi kebijakan berbasis data.


Hanya saja, publik tidak akan berhenti pada nama atau gelar, mereka menunggu bukti. Apakah rekomendasi yang dilahirkan tim benar-benar menyelesaikan masalah di lapangan?


Belajar dari daerah lain, seperti Jakarta dengan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), keberhasilan sangat ditentukan oleh transparansi dan akuntabilitas. Ada tim yang berhasil memberi masukan strategis, tapi ada juga yang hanya menambah beban fiskal daerah.


Secara global, negara, seperti Jepang dan Korea Selatan, menjadikan think tank pemerintah sebagai penguat kebijakan, namun selalu dilengkapi mekanisme evaluasi dan pelaporan publik. Tanpa itu, label “profesional” hanya sebatas jargon.


Di NTB, profesionalisme akan diuji oleh kemampuan tim menjawab tantangan struktural. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk miskin di NTB pada Maret 2025 mencapai 11,78 persen, atau sekitar 654,57 ribu orang.


Angka ini memang turun dari tahun sebelumnya, tetapi masih lebih tinggi dibanding rata-rata nasional yang berada di 8,47 persen dengan jumlah penduduk miskin 23,85 juta jiwa.


Dari sisi ketahanan pangan, fluktuasi harga cabai yang sempat menembus Rp200 ribu per kilogram masih segar dalam ingatan publik. Kondisi semacam ini menunjukkan rapuhnya rantai pasok dan lemahnya intervensi stabilisasi harga. Sementara itu, indeks pembangunan desa menggarisbawahi masih banyak desa tertinggal yang membutuhkan intervensi terarah.


Tantangan inilah yang seharusnya menjadi tolok ukur kerja tim percepatan. Masyarakat menunggu langkah nyata, bukan laporan penuh jargon. Mereka ingin harga pangan stabil, petani tidak merugi, dan angka kemiskinan benar-benar turun.


Transparansi


Kritik terhadap tim percepatan adalah minimnya transparansi. Publik menanyakan berapa besar anggaran yang dialokasikan, apa indikator kinerja yang diukur, dan bagaimana mekanisme evaluasi dilakukan.


Tanpa jawaban yang jelas, legitimasi tim akan rapuh sejak awal. Pemerintah memang menyebut gaji anggota tidak besar, tetapi dalam situasi fiskal daerah yang terbatas, setiap rupiah harus mampu memberi dampak.


Risiko lain adalah tumpang tindih dengan OPD. Jika pembagian peran tidak jelas, OPD bisa merasa kewenangannya direduksi, sementara tim justru terjebak dalam simbol politik.


Idealnya, tim percepatan berfungsi sebagai jembatan untuk menajamkan arah kebijakan, memperkuat koordinasi, dan membuka ruang inovasi. Sinergi dengan birokrasi menjadi kata kunci. Tanpa itu, percepatan bisa berubah menjadi perlambatan.


Di sisi lain, masyarakat NTB menunggu bukti nyata. Mereka tidak menagih laporan tebal penuh jargon, tetapi menginginkan harga pangan stabil, desa mandiri bertambah, dan angka kemiskinan menurun.


Kepercayaan publik hanya bisa dibangun lewat kinerja. Jika tim mampu menjawab persoalan mendesak, ia akan memperoleh legitimasi moral, sekaligus politik.


Oleh karena itu, ada sejumlah rekomendasi penting. Pertama, transparansi penuh. Publikasikan program kerja, anggaran, dan capaian secara terbuka agar publik dapat menilai.


Kedua, akuntabilitas ketat. Tetapkan indikator kinerja terukur, misalnya target penurunan kemiskinan ekstrem 1 persen per tahun. Ketiga, partisipasi publik. Libatkan akademisi independen, media, dan masyarakat sipil untuk memantau kinerja tim.


Keempat, batas waktu jelas. Berikan masa kerja terukur dengan evaluasi berkala, jangan biarkan tim berjalan tanpa ujung.


Jika rekomendasi ini dijalankan, Tim Percepatan bisa menjadi contoh baik bagi daerah lain. Sebaliknya, jika transparansi diabaikan, tim hanya akan menambah daftar panjang “tim khusus” yang lebih banyak melahirkan kekecewaan ketimbang perubahan.


Tim Percepatan NTB berdiri di persimpangan. Ia bisa menjadi mesin teknokratik yang melahirkan solusi berbasis data, atau sekadar simbol politik baru yang cepat dilupakan. Profesionalisme bukan hanya ditentukan oleh siapa yang duduk di dalamnya, melainkan oleh hasil nyata yang dapat dirasakan masyarakat.


Pada akhirnya, publik tidak menunggu retorika. Mereka menanti bukti, harga cabai yang stabil, desa yang lebih mandiri, dan berkurangnya keluarga miskin ekstrem. Membangun kepercayaan publik hanya bisa dilakukan dengan kerja nyata. Warga NTB sudah terlalu sering menunggu janji, kini mereka menagih bukti. (ANTARA/Abdul Hakim)

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer