JMDN logo

80 Tahun Indonesia Merdeka, Menemukan Kembali Jati Diri Budaya Bangsa

📍 Nasional
15 Agustus 2025
59 views
80 Tahun Indonesia Merdeka, Menemukan Kembali Jati Diri Budaya Bangsa

Jakarta, 15/8 (ANTARA) - Delapan puluh tahun setelah kemerdekaan, Indonesia masih dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang jati dirinya sebagai bangsa.


Perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang cepat seringkali membuat nilai-nilai budaya tergeser atau hanya tampil sebagai simbol tanpa makna yang hidup.


Di tengah arus globalisasi, warisan budaya yang seharusnya menjadi kekuatan justru berisiko terpinggirkan jika tidak dihidupkan kembali melalui dialog dan kebijakan yang berpihak pada identitas bangsa.


Dalam forum GREAT Lecture di Jakarta pada 14 Agustus 2025 bertema polemik kebudayaan, pernyataan dan gagasan yang mengemuka menunjukkan bahwa bangsa ini memerlukan upaya serius untuk menemukan kembali jati dirinya.


Menteri Kebudayaan, Dr. H. Fadli Zon, menggarisbawahi pentingnya reinventing Indonesia’s identity, bukan sekadar sebagai wacana abstrak, tetapi sebagai proyek besar yang menyentuh sejarah, kebijakan, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari.


Ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah negeri dengan kekayaan budaya yang tak tertandingi, baik yang kasat mata maupun yang tak berwujud. Dari wayang hingga reog, dari jamu hingga keris, warisan ini adalah modal kultural yang mestinya menjadi sumber kekuatan di tengah arus globalisasi.


Namun, kekayaan ini terancam jika narasi kebudayaan dibungkam atau dipersempit hanya menjadi hiasan di festival, tanpa ruang dialektika yang hidup.


Dalam orasi panjang tapi tak kehilangan api, Fadli Zon mengurai kembali sejarah dialektika kebudayaan bangsa ini dari Polemik Kebudayaan 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, hingga pertarungan ideologis Manifes Kebudayaan versus Lekra pada 1960-an.


Namun, bagi Fadli, yang terpenting bukanlah siapa menang melawan siapa. Yang utama adalah pergulatan pemikiran itu sendiri.


Fadli mengaku sudah mengelilingi 101 negara dan menemukan bahwa tak ada yang sekaya Indonesia dalam hal budaya, baik yang tangible maupun intangible. Ia menyebut budaya intangible Indonesia yang tercatat 2.213, tapi baru 16 yang diakui UNESCO di antaranya wayang, batik, keris, jamu, dan reog.


Ia menyinggung Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”


Dengan mengutip penemuan-penemuan arkeologis, ia menyebut bahwa Homo erectus Indonesia telah hidup 1,8 juta tahun lalu.


Gambar-gambar gua tertua ditemukan di Muna dan Maros, jauh lebih tua dari lukisan gua di Eropa. “Kita ini melting pot sejak dulu kala. Kita bukan tempat tujuan. Tapi tempat keberangkatan,” ujarnya, menyiratkan bahwa Nusantara adalah simpul globalisasi purba.


Pandangan ini mendapat penguatan dari Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, yang mengkritisi lemahnya pemahaman elite terhadap budaya di wilayah kepemimpinannya.


Ia mencontohkan kebijakan menaikkan PBB secara sepihak di tengah penderitaan ekonomi rakyat yang berujung pada chaos yang mengarah pada pemakzulan seorang bupati.


Kebijakan yang lahir dari ketidakpahaman terhadap kultur masyarakat hanya memperdalam jarak antara pemimpin dan rakyat.


Pernyataan ini menyiratkan pesan bahwa kebijakan publik haruslah berakar pada pemahaman yang utuh terhadap realitas sosial dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Tanpa itu, keputusan hanya menjadi produk teknokratis yang miskin empati.


Menulis Ulang Sejarah


Sosiolog dan Sastrawan yang juga Pengajar di National University of Singapore, Okky Madasari, menambah dimensi lain dalam diskusi ini dengan menegaskan bahwa kebudayaan tidak boleh terjerat dalam narasi tunggal.


Ia mengingatkan bahwa sejarah kebudayaan Indonesia dibentuk melalui perlawanan terhadap model dominan, baik dalam sastra, pemikiran, maupun praktik sosial.


Oleh karena itu, menulis ulang sejarah menjadi penting, tetapi harus melibatkan publik, akademisi, sastrawan, dan beragam kelompok masyarakat, bukan hanya pemerintah.


Kebebasan berbicara dan berkebudayaan adalah fondasi agar ruang kritik tetap terbuka. Jika ruang itu dipersempit, kebudayaan akan kehilangan daya hidupnya dan menjadi sekadar alat legitimasi kekuasaan.


Sementaea itu, pemikir Studia Humanika ITB, Alfathri Adlin, mengkritisi arah pendidikan di tanah air yang lebih banyak mencetak pekerja teknis dibanding pencinta ilmu.


Ia menilai sistem pendidikan di Indonesia mewarisi pola pikir kolonial yang hanya mengutamakan keterampilan praktis untuk kepentingan ekonomi, bukan untuk membentuk manusia yang memiliki visi, nilai, dan tujuan hidup yang lebih luas.


Kritik ini mengarah pada kebutuhan reformasi pendidikan yang menjadikan kebudayaan sebagai pilar pembentuk karakter, bukan hanya sebagai pelengkap kurikulum.


Dari perspektif sejarah global, Hanief Adrian, Peneliti GREAT Institute, mengangkat kembali kejayaan Sriwijaya yang dikenal sebagai Zabazh di Afrika, pembawa budaya emas yang kemudian mempengaruhi Eropa dan Arab.


Pernyataan ini menegaskan bahwa Nusantara pernah menjadi pusat peradaban dunia. Kesadaran akan sejarah ini seharusnya memantik keberanian untuk mengklaim dan menulis narasi sejarah sendiri. Jika tidak, bangsa ini akan terus menjadi objek dalam cerita versi orang lain.


Rangkaian pandangan ini berpangkal pada satu masalah besar, hilangnya ruang dialektika kebudayaan. Diskusi-diskusi kebudayaan di ruang publik semakin langka, apalagi di media arus utama.


Padahal, kebudayaan bukan hanya soal kesenian atau tradisi, melainkan juga sistem nilai, cara pandang, dan prinsip hidup yang mempengaruhi kebijakan, pendidikan, dan perilaku sosial.


Hilangnya ruang ini berarti hilangnya kesempatan bangsa untuk merundingkan kembali arah perjalanannya di tengah dunia yang berubah cepat.


Keterlibatan Kolektif


Mencari kembali jati diri Indonesia bukanlah proyek yang dapat diserahkan kepada segelintir pihak. Ia menuntut keterlibatan kolektif lintas generasi, profesi, dan latar belakang.


Perlu ada kesadaran bahwa kebudayaan tidak hidup di menara gading, tetapi tumbuh di ruang-ruang interaksi sosial, di kebijakan publik yang peka terhadap nilai-nilai lokal, di sekolah-sekolah yang mengajarkan anak-anak untuk berpikir kritis sekaligus berakar pada tradisi, dan di media yang memberi ruang pada keragaman suara.


Dalam konteks ini, kebebasan berekspresi dan keberagaman pandangan bukanlah ancaman, melainkan syarat bagi kebudayaan yang sehat. Monopoli narasi hanya akan membekukan kebudayaan dan menjadikannya rentan terhadap kooptasi kekuasaan.


Justru keberagamanlah yang memungkinkan bangsa ini beradaptasi tanpa kehilangan esensi. Seperti yang ditegaskan Okky Madasari, kebenaran tidak pernah dimonopoli oleh satu suara.


Prinsip ini relevan bukan hanya bagi dunia seni dan sastra, tetapi juga bagi politik, pendidikan, dan pembangunan.


Tantangan ke depan bukan hanya mempertahankan warisan budaya, tetapi juga menjadikannya relevan dengan dunia baru yang terus berubah.


Relevansi ini tidak berarti menyerah pada arus globalisasi, tetapi justru memanfaatkan posisi Indonesia sebagai melting pot sejak zaman purba.


Dengan kesadaran sejarah yang kuat dan kebebasan berpikir yang terjaga, Indonesia dapat menjadi pemain aktif dalam peradaban global, bukan sekadar penonton atau konsumen budaya asing.


Jika kebudayaan adalah cermin bangsa, maka saat ini cermin itu tampak buram oleh kabut kepentingan politik, komersialisasi, dan penyeragaman wacana.


Tugas masyarakat adalah membersihkan kabut itu dengan membuka kembali ruang diskusi, memperkuat pendidikan yang berakar pada nilai-nilai luhur, dan memastikan bahwa kebijakan publik selaras dengan kultur masyarakat.


Upaya ini memerlukan keberanian moral, kecerdasan kolektif, dan komitmen jangka panjang. Tanpa itu, kebudayaan akan terus terpinggirkan, dan bangsa ini akan kehilangan arah dalam pusaran dunia baru.


Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa ini pernah menjadi pusat dunia. Pengetahuan tentang masa lalu itu seharusnya menjadi kompas untuk melangkah, bukan sekadar kebanggaan kosong.


Menghidupkan kembali dialektika kebudayaan adalah langkah awal untuk memastikan bahwa jati diri Indonesia tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga menjadi kekuatan yang mengarahkan masa depan.


Dalam perjalanan itu, suara-suara kritis, ide-ide segar, dan keberanian untuk berbeda bukanlah hambatan, melainkan energi yang menggerakkan bangsa ini menuju kemerdekaan kultural yang sejati. (ANTARA/Hanni Sofia)

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer