Memberdayaan Masyarakat Lewat "Apartemen" Lebah

Jakarta, 12/8 (ANTARA) - Hampir setiap sore, lelaki yang suka mengenakan ikat kepala itu memeriksa kotak-kotak kayu yang tersusun rapi di lingkungan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB).
Hal itu dilakukan untuk memastikan kotak-kotak kayu yang disebutnya sebagai "apartemen" lebah tersebut berisikan koloni lebah. Lebih dari 10 tahun, lelaki yang memiliki nama lengkap Prof Ahmad Sulaeman itu bergelut dengan lebah.
Ketertarikannya pada lebah berawal dari ayat Alquran, tepatnya Surat An-Nahl ayat 68, yang berbunyi, "Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah. Buatlah sarang-sarang di pegunungan, pepohonan, dan bangunan yang dibuat oleh manusia."
Guru Besar bidang keamanan dan gizi IPB itu memaknai bahwa secara tersirat ada perintah dari Allah memelihara lebah. Ada fardu kifayah atau kewajiban bersama untuk memelihara lebah yang dari dalam perutnya keluar cairan bermanfaat bagi manusia.
Lebah yang yang dibudidayakan di "apartemen" itu adalah jenis trigona yang tanpa sengat (stingless bee), yakni Tetraganula biroi, Heterotrigona itama, dan Tetraganula laeviceps.
Selama ini, lebah jenis tersebut hidup di dalam lubang di batang pohon. Jika mengambil madunya, maka pohon tersebut harus ditebang. Dari situ, tercetus ide untuk menciptakan "apartemen" lebah yang serupa dengan lubang di dalam pohon. Maka lahirlah inovasi "apartemen" stup atau wadah susun tiga
Stup susun tiga itu, menjadi tempat lebah mengumpulkan nektar, resin, dan juga polen. Selain itu, stup juga menjadi tempat lebah berkembang biak dan menciptakan koloni baru yang terdiri dari lebah ratu, lebah pekerja, dan pejantan dalam satu koloni.
Dalam satu "apartemen" terdapat beberapa kumpulan koloni. Selama ini, lebah dibudidayakan di kotak kecil, sehingga hasilnya kurang maksimal.
Madu yang dihasilkan melalui inovasi itu beragam, tergantung nektar yang dikumpulkan. Ada yang manis sekali, asam sekali, ada yang pahit, manis asam, dan manis pahit. Juga ada pollen yang berisi protein yang bisa dimanfaatkan untuk obat dan antipenuaan, serta propolis untuk anti-TBC, antidiabetes, antikanker, antihipertensi dan lainnya.
Budidaya lebah trigona tersebut cenderung mudah dan tidak memerlukan pemeliharaan khusus, karena lebah dapat mencari makan sendiri dengan terbang kurang lebih satu kilometer. Lebah tanpa sengat itu juga memiliki karakter multiflora atau lebah yang mengonsumsi sari bunga apa saja, seperti bunga kelapa, bunga rambutan, mangga, bunga rerumputan, jagung, dan lainnya.
Bunga-bunga itu, menurut Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia tersebut, dsedot dan diambil nektarnya oleh lebah dan dijadikan madu. Benang sarinya dijadikan pollen, juga mengambil resin atau getah yang ada pada pohon-pohon untuk dijadikan wadah untuk kantong madu.
Peraih penghargaan dari Menristek untuk Inovasi Indonesia Paling Prospektif dari tahun 2012-2019, 2023 -2014 dengan total 15 inovasi dan lulusan University of Nebraska Lincoln, Amerika Serikat, itu menjelaskan panen setiap satu koloni dapat dilakukan empat bulan sekali, dengan hasil untuk jenis Heterotrigona itama sekitar 1,5 liter dan Tetragonula biroi sekitar 1 liter madu.
Budi daya lebah madu itu juga mudah dilakukan, termasuk di perkotaan maupun di perdesaan. Asalkan di kawasan tersebut masih ada pepohonan atau tanaman, termasuk rumput dan tanaman bunga, yang bisa dimanfaatkan lebah untuk memperoleh nektar, benang sari, dan resin.
Solusi
Sulaeman meyakini berbagai produk yang dihasilkan lebah dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan gizi masyarakat, mengobati penyakit, hingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat perdesaan, terutama yang berada di kawasan pinggir hutan.
Melalui pelatihan yang diberikan, masyarakat diberikan bagaimana mengelola "apartemen" lebah itu, diajarkan bagaimana cara budi daya lebah yang baik, sehingga menghasilkan madu, resin, maupun polen. Hal itu, sekaligus menjadi solusi bagi masyarakat untuk tetap menjaga lingkungan atau dengan kata lain masuk ke dalam kegiatan ekonomi sirkular.
Usaha itu termasuk dalam sistem perlebahan yang organik, karena lebahnya mencari makanan yang alami atau yang tidak disemprot pestisida atau herbisida dan juga tidak dipupuk berlebihan.
Hanya saja, yang menjadi tantangan jika di wilayah itu menggunakan sistem pertanian konvensional, yang banyak menggunakan pestisida, karena otomatis mengurangi populasi lebah trigona yang tidak tahan dengan adanya penggunaan pestisida.
Keberadaan lebah di satu wilayah juga mengindikasikan kondisi ekosistem di sekitar itu, karena lebah merupakan polinator alami yang membantu penyerbukan, sehingga produktivitas tanaman meningkat.
Melalui inovasi itu pula, diharapkan madu Indonesia dapat terangkat di kancah global. Selama ini yang terkenal di dunia adalah mladu Manuka yang berasal dari Selandia Baru.
"Padahal kualitas madu kita jauh lebih baik dan tidak kalah dari madu impor," ujar dosen dengan H-Index Scopus 11 dan H-Index Google Scholar 21 itu, ketika berbincang dengan ANTARA.
Ke depan, dia berharap dapat melakukan penelitian dengan fokus bagaimana "apartemen" lebah tersebut dapat menjadi "pabrik obat" atau nutrasetikal. Saat ini sudah ada proyek percontohannya di Cibadak, tepatnya di lahan CV Slamet Quail Farm dan Kebun Plasma FEMA IPB Kampus IPB Darmaga.
Fokusnya bagaimana propolis digunakan untuk membantu penyembuhan pasien TBC. Hasilnya, pasien yang awalnya harus minum obat selama enam bulan, namun dibantu dengan propolis, maka cukup minum obat enam minggu hingga tiga bulan.
Inovasi "apartemen" lebah Prof Ahmad Sulaeman tidak hanya menghasilkan produk lebah yang berkualitas, tetapi juga mampu membuka peluang ekonomi baru dan memberdayakan masyarakat. Dampak lainnya juga untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mewujudkan ekonomi sirkular yang berkelanjutan.
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB University Prof Dr Sofyan Sjaf mengatakan pihaknya selalu mendukung segala inovasi yg dilahirkan oleh civitas akademika di kampus tersebut.
Baginya, apartemen lebah karya Prof Sulaeman adalah salah satu karya riset yang penting dalam banyak aspek, antara lain kesehatan dan kecukupan gizi. Apa yg dilakukan Prof Sulaeman adalah prototipe yang bisa dipakai dimana pun karena teknologinya bersifat inklusif. (ANTARA/Indriani)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.