Mengintip Sejarah "Kota Minyak" Balikpapan dari Rumah Dahor

Balikpapan, Kalimantan Timur, 20/8 (ANTARA) - Tak jauh dari kilang minyak Pertamina di Balikpapan, Kalimantan Timur, terdapat sebuah rumah berwarna cerah yang terlihat begitu mencolok di tengah-tengah bangunan-bangunan modern yang mengelilinginya.
Rumah tersebut dijuluki dengan Rumah Dahor. Rumah model panggung itu masih berdiri kokoh meskipun sudah berusia lebih dari satu abad — 125 tahun, tepatnya.
Perjalanan Balikpapan sebagai kota industri minyak yang sudah eksis bahkan sebelum Indonesia merdeka, tersimpan dengan rapi di bangunan yang berlokasi di Jalan Dahor No. 1, Baru Ilir, Balikpapan Barat tersebut.
Rumah dengan dominasi warna hijau toska pastel itu dibangun pada tahun 1920 oleh perusahaan minyak Belanda, De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), yang juga merupakan anak perusahaan gabungan Royal Dutch dan Shell Companies.
Dulunya, Rumah Dahor merupakan kompleks perumahan para pekerja BPM kelas menengah yang terdiri lebih dari 20 rumah panggung, sebelum akhirnya kini hanya tersisa kurang dari 10 rumah saja.
Tidak jauh-jauh dari sejarah minyak, nama “Dahor” sendiri diambil dari nama sebuah sumur minyak BPM di Tabalong, Kalimantan Selatan, yang berbatasan dan tidak jauh dari Paser, Kalimantan Timur.
Model rumah panggung yang identik dengan rumah adat Banjar dan Dayak ini pun dipilih karena dengan ketinggiannya, sehingga para pekerja yang tinggal di rumah tersebut dapat melihat langsung kilang minyak dan pesisir laut.
Hal ini mengingat 100 tahun yang lalu, lingkungan yang mengelilingi Rumah Dahor masih sangat sepi, berbentuk hutan, dan belum berdiri pemukiman dan pertokoan seperti sekarang.
Selain itu, model rumah panggung yang berdiri dengan ketinggian yang lebih tinggi dari tanah di sekitarnya itu juga dipilih lantaran dapat mencegah air laut pasang untuk masuk ke rumah, serta menghindari ancaman hewan-hewan buas di hutan.
Rumah ini memiliki jendela dan pintu yang cukup besar, membuatnya begitu sejuk dan terang. Di sekeliling jendela dan pintu dihiasi dengan berbagai ornamen kaca yang menambah perpaduan khas nan unik antara nilai lokal dan peninggalan Belanda.
Kayu ulin, yang diambil dari pohon ulin serta merupakan tanaman khas Tanah Borneo, menjadi material utama dari rumah ini. Diyakini, kayu ini memiliki ketahanan terhadap cuaca ekstrem, serangan rayap, dan air laut.
Tak hanya itu, kayu yang banyak digunakan dalam konstruksi bangunan hingga pembuatan kapal ini juga terbukti kuat dan keandalannya mampu bertahan hingga ratusan tahun.
Kilas balik dan masa kini
Di balik kearifan lokalnya, Rumah Dahor juga merupakan saksi bisu berbagai peristiwa sejarah.
Dalam berbagai dokumentasi yang dipamerkan di sana, terlihat bagaimana proses awal pengeboran minyak di Balikpapan, serta bagaimana kota ini diperebutkan oleh Belanda dan Jepang selama masa Perang Dunia II.
Berdasarkan catatan dan dokumentasi yang berhasil terkumpul, Balikpapan disebut sebagai kota dengan kilang minyak terbesar ketiga di dunia kala itu. Tak mengherankan jika kota yang merupakan gerbang Provinsi Kalimantan Timur tersebut menjadi strategis dan menimbulkan persaingan antara tentara Sekutu dan Jepang.
Pengelola Rumah Dahor, Rudiansyah, menjelaskan bahwa kilang minyak di Balikpapan ini sempat berhasil diambil alih oleh Jepang, sebelum pada akhirnya menjadi sasaran pengeboman oleh tentara Sekutu yang terdiri dari tentara asal Belanda, Australia, dan Selandia Baru.
Rudiansyah mengatakan, peristiwa itu menghancurkan berbagai infrastruktur dan menimbulkan banyak korban jiwa. Namun, Rumah Dahor terbebas dari pengeboman tersebut. “Rumah Dahor selamat dari peristiwa tersebut, jadi, rumah cagar budaya ini sangat berharga untuk generasi ke depan,” kata dia.
Foto-foto monokrom yang terpasang rapi di dinding dan sejumlah barang peninggalan masa lampau yang masih tersimpan di Rumah Dahor, terus terawat dengan baik oleh Rudiansyah bersama para pegiat sejarah yang tergabung di Dahor Heritage.
Kehadiran mereka bersama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU V Balikpapan sebagai pengelola, menjadi satu kesatuan yang kokoh untuk terus memberikan Rumah Dahor sebuah kehidupan di masa sekarang.
Keduanya merawat warisan sejarah dan memanfaatkan cagar budaya ini sebagai destinasi wisata serta pengetahuan.
Tak hanya mengandalkan satu rumah, saat ini terdapat sembilan rumah yang dikelola bersama Pertamina dan komunitas Dahor Heritage.
Kesembilan rumah tersebut telah dialihfungsikan menjadi museum, taman baca, dan perpustakaan mini. “Siswa dan mahasiswa sering ke sini untuk belajar pengetahuan sejarah. Rumah Dahor juga bisa digunakan secara gratis untuk kegiatan seperti lomba, pentas tari, pentas puisi, dan lainnya,” ujar Rudiansyah.
Pria dengan mata berbinar dan penuh semangat itu mengatakan bahwa per bulannya, sebanyak 300-400 pelancong mengunjungi rumah ini.
Ia berharap, eksistensi Rumah Dahor sebagai warisan sejarah dan budaya di Balikpapan bisa dikenal lebih luas lagi dengan dukungan dari Pertamina, hingga pemerintah daerah setempat.
“Unit pengelola teknis (UPT) belum ada. Kami hanya volunteer, jadi kalau mau berkunjung bisa kontak kami,” ujar dia.
Ya, karena pada hakikatnya, sejarah dapat terus hidup ketika ingatan dan rasa cinta kita akan pengetahuan juga terjaga.
Hanya saja, tidak bisa kita terus mengandalkan Rudiansyah, atau teman-teman pegiat sejarah untuk menjaga cahaya itu tetap menyala.
Peran kolaboratif menjadi vital. Semua orang memiliki peran untuk terlibat melindungi sejarah, warisan budaya dan nilai.
Dan, tidak berlebihan jika kita memandang Rumah Dahor menjadi salah satu contoh bagaimana upaya kolektif tersebut berhasil dan terus menghidupkan sejarah “Kota Minyak” dari masa ke masa. (ANTARA/Arnidhya Nur Zhafira)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.