Meningkatkan PNBP Sektor Perikanan

Surabaya, 19/8 (ANTARA) - Sektor kelautan dan perikanan Indonesia memiliki potensi luar biasa yang jika dikelola dengan tepat mampu menjadi motor penggerak ekonomi nasional, sekaligus penghasil devisa negara.
Salah satu instrumen penting dalam optimalisasi kontribusi sektor ini adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang bersumber dari aktivitas pemanfaatan sumber daya ikan. Dalam konteks tersebut, kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang dicanangkan pemerintah merupakan langkah strategis untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial masyarakat pesisir.
Kebijakan PIT dirancang untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan dilakukan dalam koridor keberlanjutan. Dengan menetapkan kuota penangkapan di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP), pemerintah tidak hanya mengatur jumlah tangkapan sesuai daya dukung ekosistem, tetapi juga menata mekanisme distribusi manfaat ekonomi melalui skema perizinan dan pungutan hasil perikanan.
Dengan demikian, PNBP yang dihasilkan dapat meningkat signifikan tanpa harus mengorbankan kelestarian sumber daya.
Hanya saja, implementasi kebijakan ini membutuhkan pijakan konseptual yang kuat, yaitu ekonomi hijau. Pendekatan ini menekankan bahwa pembangunan ekonomi kelautan tidak boleh semata-mata mengejar keuntungan jangka pendek, melainkan harus menginternalisasi prinsip keberlanjutan, efisiensi, inovasi, dan inklusivitas.
Ekonomi hijau menjadi paradigma yang memastikan bahwa kebijakan PIT tidak hanya memperkaya kas negara, tetapi juga memperkuat ketahanan ekosistem laut, menyejahterakan nelayan, serta membuka peluang investasi yang ramah lingkungan.
Dari perspektif akademik, terdapat beberapa strategi yang dapat memperkuat kontribusi PIT terhadap peningkatan PNBP sektor perikanan.
Pertama, penyusunan kuota penangkapan berbasis riset ilmiah yang mutakhir. Tanpa data stok ikan yang akurat dan periodik, kebijakan kuota akan rentan dipertanyakan validitasnya. Oleh karena itu, riset perikanan tangkap harus diperkuat melalui kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga riset.
Kedua, digitalisasi tata kelola perikanan tangkap. Penerapan sistem e-logbook, vessel monitoring system (VMS), serta integrasi data perizinan akan meningkatkan transparansi, meminimalisasi praktik penangkapan ilegal, dan memastikan pungutan negara tercatat optimal. Dengan sistem digital yang terintegrasi, kebocoran PNBP dapat ditekan secara signifikan.
Ketiga, insentif dan disinsentif bagi pelaku usaha. PNBP dapat ditingkatkan, tidak hanya melalui tarif pungutan, tetapi juga dengan menciptakan iklim usaha yang adil, misalnya pelaku usaha yang menerapkan praktik penangkapan ramah lingkungan, menggunakan kapal dengan efisiensi energi tinggi, atau berkontribusi pada program restorasi ekosistem, seharusnya mendapatkan insentif fiskal maupun non-fiskal.
Keempat, memperkuat peran masyarakat lokal dan nelayan tradisional dalam kerangka PIT. Strategi peningkatan PNBP tidak boleh mengenyampingkan keadilan sosial. Oleh karena itu, sebagian dari PNBP yang diperoleh perlu dialokasikan kembali dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat, penguatan koperasi nelayan, serta perbaikan infrastruktur pesisir.
Hal itu selaras dengan prinsip ekonomi hijau yang menekankan inklusivitas dan kesejahteraan bersama.
Kelima, diplomasi perikanan regional dan internasional. Sebagai negara dengan potensi perikanan tangkap yang besar, Indonesia dapat memanfaatkan kebijakan PIT sebagai instrumen tawar-menawar dalam kerja sama internasional, baik terkait perdagangan hasil perikanan, akses pasar, maupun investasi berbasis keberlanjutan. Diplomasi ini dapat membuka sumber PNBP baru melalui ekspor bernilai tambah tinggi.
Teknologi blockchain
Dalam kerangka informatika kelautan, teknologi blockchain sangat penting yang dapat merevolusi rantai pasok perikanan Indonesia. Blockchain memungkinkan setiap ikan yang ditangkap dicatat dalam sistem digital yang terdesentralisasi dan tidak dapat diubah, mulai dari lokasi tangkap, metode tangkap, hingga distribusi ke pasar, semuanya bisa dilacak secara real-time.
Hal ini dapat menjawab tuntutan pasar internasional yang kini mengutamakan ketertelusuran sebagai syarat masuk produk perikanan ke suatu negara. Syarat ketertelusuran ini untuk mencegah praktik penangkapan ilegal.
Dengan blockchain, ikan hasil tangkapan ilegal akan mudah terdeteksi karena tidak tercatat dalam sistem. Integrasi blockchain dengan VMS dan e-logbook akan membentuk mekanisme pengawasan otomatis yang lebih efektif daripada sekadar patroli konvensional.
Selain itu, blockchain dapat diintegrasikan dengan sistem perizinan dan pungutan hasil perikanan. Artinya, setiap transaksi PNBP tercatat otomatis, transparan, dan dapat diaudit secara digital. Ini akan menutup celah kebocoran, sekaligus mempercepat birokrasi.
Produk perikanan Indonesia kerap menghadapi hambatan non-tarif karena isu keberlanjutan. Dengan blockchain, produk kita akan memiliki digital certificate of origin yang kredibel, meningkatkan reputasi di pasar global, serta memberikan peluang harga jual lebih tinggi.
Melalui aplikasi sederhana, nelayan tradisional dapat mencatat hasil tangkapannya langsung ke sistem blockchain. Dengan begitu, produk mereka memiliki nilai tambah, karena konsumen dapat memastikan bahwa ikan tersebut berasal dari praktik penangkapan yang legal dan berkelanjutan.
Tantangan implementasi
Tentu saja, adopsi blockchain dan digitalisasi perikanan tidak lepas dari tantangan. Keterbatasan infrastruktur digital di wilayah pesisir, literasi teknologi yang rendah di kalangan nelayan, hingga potensi resistensi dari pelaku usaha besar adalah kendala nyata. Meskipun demikian, semua ini dapat diatasi melalui program edukasi digital, insentif adopsi teknologi, serta dukungan regulasi yang kuat.
Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis ekonomi hijau yang diperkaya dengan teknologi blockchain adalah momentum emas bagi Indonesia. Jika dikelola dengan visi jangka panjang, kita tidak hanya akan meningkatkan PNBP, tetapi juga menjaga kelestarian sumber daya ikan, melindungi ekosistem laut, menyejahterakan nelayan, dan menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Dengan kata lain, inilah saatnya pemerintah berani mengintegrasikan sains, teknologi, dan keadilan sosial ke dalam tata kelola perikanan. PIT berbasis blockchain bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi sebuah inovasi nasional untuk memastikan laut Indonesia tetap kaya, nelayan tetap sejahtera, dan negara tetap berdaulat dalam ekonomi biru global.
*) Dr Hozairi adalah dosen bidang informatika kelautan di Universitas Islam Madura
Oleh Dr Hozairi*)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.