JMDN logo

Indonesia Katalis Reformasi ASEAN

📍 Politik dan Pemerintahan
13 Agustus 2025
17 views
Indonesia Katalis Reformasi ASEAN

Jakarta, 13/8 (ANTARA) - Sebagai salah satu pendiri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN),  Indonesia memainkan peran penting dalam membentuk fondasi regionalisme di Asia Tenggara.


Peran awal Indonesia dalam mendirikan ASEAN pada 1967 bersama Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, tak bisa semata-mata dikaitkan dengan aspek luas wilayah atau besarnya jumlah penduduk. Hal yang jauh lebih menentukan adalah langkah diplomatik Indonesia setelah konfrontasi dengan Malaysia.


Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto waktu itu, Indonesia menempuh kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, dengan mengedepankan dialog, meredam ketegangan, dan membangun kembali kepercayaan antarnegara di kawasan. Dari situ, komitmen Indonesia terhadap stabilitas regional mulai ditegaskan.


Dari komitmen awal itu, peran Indonesia dalam ASEAN terus berlanjut. Bisa dibilang selama dekade 1990-an, Indonesia menjadi aktor sentral dalam ekspansi ASEAN. Masuknya Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), serta Kamboja (1999) tak lepas dari lobi dan pengaruh Indonesia. ASEAN-10 pun menjadi kenyataan. Dari sini, posisi Indonesia seolah tak tergantikan.


Namun, posisi sentral itu perlahan diuji. Setelah krisis politik dan ekonomi tahun 1998, fokus Indonesia banyak tersedot ke ranah domestik. Transisi demokrasi, konflik separatis, dan agenda reformasi menggeser prioritas kebijakan luar negeri Indonesia.


Meski demikian, Indonesia tidak sepenuhnya meninggalkan peran aktifnya dalam ASEAN. Lewat tangan Presiden Habibie, Presiden Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia tetap berkontribusi dalam menginisiasi berbagai forum penting, termasuk Bali Concord II yang memperkenalkan gagasan Komunitas ASEAN.


Langkah ini menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki posisi strategis sebagai penggerak dalam momentum-momentum krusial kawasan.


Akan tetapi, seiring waktu dan dinamika yang terus berubah, kiwari mulai muncul pertanyaan ihwal masihkah Indonesia dipandang sebagai pemimpin informal ASEAN? Ataukah posisi tersebut kini perlahan bergeser, dan siap diambil alih oleh negara-negara lain yang tampil lebih agresif dalam diplomasi dan pertumbuhan ekonominya?


Ambil contoh Vietnam. Dalam dekade terakhir, Vietnam menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang relatif solid, dengan angka rata-rata mendekati 6 persen per tahun meski sempat terdampak pandemi dan perlambatan global. Di sisi geopolitik, Hanoi juga kian vokal dalam isu Laut Tiongkok Selatan, memanfaatkan posisinya sebagai mitra strategis bagi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE).


Sementara itu, Singapura menawarkan model kepemimpinan yang berbeda: teknokratis, efisien, dan ditopang oleh kekuatan institusi. Dalam isu-isu seperti digitalisasi, keuangan, dan pendidikan regional, kontribusi Singapura semakin diakui dan bahkan sering dijadikan rujukan oleh negara-negara tetangga.


Di tengah dinamika itu, Indonesia cenderung mengambil pendekatan yang lebih hati-hati. Dalam krisis Myanmar, misalnya, Indonesia berusaha menjadi fasilitator perdamaian dengan mendorong implementasi Lima Poin Konsensus. Namun hingga kini, hasilnya masih terbatas. Junta militer Myanmar belum menunjukkan komitmen nyata untuk menjalankan kesepakatan tersebut secara substansial.


Sebagian kalangan menilai bahwa Indonesia tak lagi tampil sebagai “juru bicara moral” kawasan. Kepemimpinan Indonesia dinilai semakin pasif, dan cenderung ragu-ragu dalam menyikapi isu-isu strategis. Padahal, Asia Tenggara kini menghadapi tantangan besar, dari meningkatnya rivalitas antara AS Serikat dan Tiongkok, krisis iklim yang kian mendesak, hingga ketimpangan pembangunan antarnegara anggota ASEAN.


Dalam konteks teori peran negara dalam organisasi internasional, pakar hubungan internasional Amitav Acharya menyebut bahwa sebuah negara dapat mempertahankan pengaruhnya jika mampu menawarkan kepemimpinan normatif (normative leadership). Artinya, kekuatan pengaruh tidak semata ditentukan oleh aspek ekonomi atau militer, melainkan oleh kemampuan memandu nilai-nilai dan arah kolektif suatu komunitas regional.


Dulu, Indonesia memiliki modal itu. Bersama Malaysia, Indonesia menggagas konsep ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality), sebuah visi kawasan damai dan bebas dari intervensi kekuatan besar. Indonesia juga memainkan peran penting dalam lahirnya Treaty of Amity and Cooperation (TAC), yang hingga kini menjadi fondasi norma ASEAN dalam penyelesaian konflik tanpa kekerasan.


Namun, zaman berubah. Tantangan ASEAN bukan lagi semata konflik antarnegara, melainkan juga masalah lintas batas, krisis iklim, ketahanan energi, hingga arus informasi digital yang sulit dibendung. Oleh sebab itu, dibutuhkan visi baru.


Kembali menjadi lokomotif


Sudah barang tentu, Indonesia memiliki peluang untuk kembali menjadi lokomotif ASEAN, terutama dengan modal sebagai negara demokrasi terbesar di ASEAN. Pemilu yang relatif stabil, masyarakat sipil yang aktif, serta diplomasi yang moderat menjadikan Indonesia tetap kredibel sejauh ini.


Sayangnya, politik luar negeri Indonesia saat ini kerap dipersepsikan terlalu birokratis, prosedural, dan reaktif. Inisiatif strategis yang mampu mendorong konsensus kawasan masih terbatas.


Indonesia sering kali hanya berperan sebagai fasilitator yang berhati-hati, bukan agenda setter yang progresif. Padahal, di tengah tantangan perubahan iklim, rivalitas AS–China, dan fragmentasi ekonomi, kawasan Asia Tenggara memerlukan pemimpin yang berani mendorong reformasi.


Salah satu isu krusial yang membutuhkan kepemimpinan regional adalah perubahan iklim. Hingga saat ini, ASEAN belum memiliki kerangka kebijakan iklim kolektif yang kuat dan mengikat, meski Asia Tenggara termasuk salah satu kawasan paling rawan terhadap dampak perubahan iklim, mulai dari kenaikan muka laut hingga bencana ekstrem yang semakin sering dan intens.


Menurut Global Climate Risk Index 2021, selama periode 2000–2019, Myanmar, Filipina, dan Thailand masuk ke dalam 10 negara paling terdampak secara global akibat kejadian cuaca ekstrem. Meski Indonesia tidak berada dalam peringkat top 10, risiko iklim seperti kebakaran hutan, banjir, dan degradasi ekosistem pesisir tetap menjadi ancaman serius bagi Indonesia.


Ironisnya, emisi karbon -- yang berkontribusi terhadap krisis iklim -- dari kawasan ini terus meningkat. Menurut catatan International Energy Agency (IEA), sejak tahun 2000 permintaan energi di ASEAN meningkat lebih dari 80 persen, dan sebagian besar dipenuhi oleh bahan bakar fosil yang jumlahnya meningkat dua kali lipat. Pada 2023 saja, seluruh kenaikan permintaan listrik wilayah sebanyak sekitar 45 TWh dipenuhi oleh energi fosil, dengan batu bara mendominasi kontribusi tersebut.


Untuk itu, jika Indonesia ingin tetap berperan sentral, setidaknya ia harus memimpin transisi energi dan ekonomi hijau di ASEAN. Bukan hanya menjadi tuan rumah konferensi, tetapi mengembangkan proyek konkret lintas batas, seperti jalur listrik terbarukan regional atau kawasan restorasi hutan tropis terpadu.


Demikian pula di bidang digital. Tantangan seperti keamanan siber, penyalahgunaan data pribadi, dan ketimpangan akses internet masih menjadi persoalan utama yang dihadapi negara-negara ASEAN.


Dalam menghadapi isu-isu tersebut, Indonesia memiliki peluang untuk mengambil peran lebih besar dengan menginisiasi sebuah ASEAN Digital Compact, sebuah kerangka kerja kolektif yang berorientasi pada keadilan digital dan penguatan literasi teknologi. Gagasan ini penting untuk memastikan bahwa transformasi digital di kawasan tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga inklusi dan perlindungan bagi seluruh lapisan masyarakat.


Dalam isu keamanan, ketimbang hanya menengahi konflik, Indonesia bisa mendorong pembentukan ASEAN Peacebuilding Corps, yang bertugas membantu penyelesaian konflik internal secara damai dan berbasis HAM dan bisa kian memperkuat peran ASEAN dalam menjaga stabilitas kawasan secara konstruktif dan berprinsip.


Sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar, Indonesia juga punya posisi strategis dalam membangun dialog antaragama dan budaya. Modal ini dapat menjadi kekuatan lunak yang lebih berpengaruh dibanding kekuatan ekonomi semata.


Dari sisi domestik, tentu Indonesia harus pula berbenah. Korupsi, birokrasi yang lambat, dan ketidakterbukaan informasi menjadi hambatan besar. Dunia tentu saja memperhatikan hal ini. Legitimasi kepemimpinan regional hanya bisa bertahan jika disokong performa dalam negeri yang membaik.


Meningkatkan diplomasi publik


Lebih jauh, Indonesia perlu pula meningkatkan diplomasi publik ASEAN. Rakyat di kawasan perlu merasa bahwa ASEAN relevan untuk kehidupan mereka. Dalam hal ini, Indonesia perlu makin menggiatkan program pertukaran pelajar, festival budaya lintas negara, dan kerja sama riset ilmiah.


ASEAN bukan hanya urusan elite dan kementerian luar negeri. Ia harus menjadi proyek kolektif masyarakat kawasan Asia Tenggara. Dan di sinilah kepemimpinan informal Indonesia diuji, bukan dari posisi dominan, tetapi dari kemampuan membangun rasa kepemilikan bersama.


Jika Indonesia mampu menjadi katalis reformasi di tubuh ASEAN, bukan tidak mungkin reputasi sebagai “pemimpin moral dan normatif” bisa pulih. Bukan karena masa lalu, melainkan karena kontribusi nyatanya di masa kini.


Reformasi itu harus dimulai dari keberanian menyuarakan hal yang tak populer. Termasuk evaluasi internal ASEAN, reformulasi prinsip non-intervensi, hingga pembaruan institusi yang selama ini terlalu lamban merespons sejumlah krisis.


Kendati sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia tak bisa memaksakan kehendak. Namun, Indonesia bisa mengajak, mengilhami, dan membuktikan lewat keteladanan. Inilah nilai dari kepemimpinan yang sejati.


Maka, dari the founding father ASEAN, Indonesia kini ditantang untuk menjadi reformer-in-chief ASEAN. Ini sebuah peran yang tak hanya strategis, tetapi juga mendesak. Karena masa depan ASEAN sangat mungkin ditentukan oleh langkah-langkah kecil yang dimulai dari Jakarta.


 


*) Djoko Subinarto, kolumnis, alumnus Departemen Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran


Oleh Djoko Subinarto*)

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer