Mengharumkan Vanili Indonesia

Jakarta, 07/10 (ANTARA) - Vanili bukan sekadar rempah. Komoditas bernilai tinggi ini menjadi bahan baku penting dalam industri makanan, minuman, kosmetik, hingga farmasi.
Indonesia merupakan produsen vanili terbesar kedua di dunia, dengan Vanilla planifolia tumbuh subur di Bali, Jawa, Sumatra, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara Timur. Permintaan global terhadap vanili alami meningkat pesat seiring tren konsumen yang semakin menghargai produk organik dan cita rasa otentik.
Nilai pasar vanili dunia diperkirakan mencapai 1,2 miliar dolar AS pada 2025, sementara pasar vanili Indonesia diperkirakan tumbuh 5,99 persen dari 2024 - 2032 hingga menembus 33,29 juta dolar AS pada 2032. Namun, potensi besar ini hanya bisa tercapai bila kualitas produksi dan kesejahteraan petani ditingkatkan, agar vanili lokal benar-benar mampu “mengharumkan dunia.”
Meski dikenal sejak era kolonial dengan sebutan Java vanilla, kontribusi Indonesia di pasar ekspor masih jauh dari optimal. Ekspor vanili Indonesia pada 2022 mencapai 28,7 juta dolar AS, menempatkannya di peringkat keenam dunia di bawah Madagaskar, Uganda, Prancis, Jerman, dan Belanda.
Data Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat volume ekspor vanili kering pada 2023 sebesar 173 ton dengan nilai 15,2 juta dolar AS, turun tajam dari 90 juta dolar AS pada 2017, dengan pasar utama Amerika Serikat (60 persen), diikuti Singapura, Belanda, Prancis, Tiongkok, Kanada, Jerman, dan Australia.
Meski nilainya menurun, Indonesia tetap menjadi produsen kedua terbesar dunia dengan produksi 2.306 ton atau 30,3 persen dari total global (FAO, 2020). Cita rasa vanili Indonesia yang berani, smokey, dan kaya vanilin menjadi daya tarik tersendiri di industri cokelat dan parfum premium.
Nilai tambah dan harga
Harga vanili Indonesia terus berayun mengikuti irama fluktuasi produksi global. Pada Juni 2025, vanili grade A dari Indonesia dijual antara 180–220 dolar AS per kilogram, sementara grade B berada di kisaran 110 - 150 dolar AS, dan ekstrak grade sekitar 80 - 120 dolar AS. Harga ini memang lebih rendah dibandingkan vanili Madagaskar yang bisa mencapai 250 - 300 dolar AS per kilogram, tetapi justru di situlah letak daya saing Indonesia.
Di balik biji kecil beraroma manis itu, tersimpan peluang besar bukan hanya untuk menjual bahan mentah, melainkan juga produk olahan bernilai tinggi. Kementan mencatat bahwa harga rata-rata ekstrak vanili global mencapai 270,4 Euro per kilogram, jauh di atas biji utuh yang hanya 175,56 Euro.
Artinya, ketika petani mampu berinovasi mengolah hasil panen menjadi ekstrak, bubuk, pasta, atau minyak esensial, nilai jual vanili Indonesia bisa melonjak berlipat ganda.
Namun, di balik aroma wangi itu tersimpan persoalan klasik, yakni pemanenan dini dan lemahnya kualitas. Banyak petani memetik polong vanili pada usia tiga bulan setelah penyerbukan, jauh dari waktu ideal delapan hingga sembilan bulan, karena takut tanaman mereka dicuri.
Kebiasaan ini membuat aroma dan kadar vanilin vanili Indonesia menurun drastis, sehingga kalah bersaing dengan vanili Madagaskar yang dikeringkan sempurna hingga memunculkan cita rasa kompleks. Lebih parah lagi, harga tinggi di pasar global memicu praktik “tebasan” oleh spekulan yang membeli polong muda untuk ditanam ulang di luar negeri.
Selain itu, ancaman penyakit busuk batang (Fusarium oxysporum f.sp. vanillae) menghantui banyak kebun. Meski Direktorat Jenderal Perkebunan telah mendorong penggunaan benih bersertifikat, rotasi lahan, dan agen hayati, penerapannya di lapangan masih terbatas karena keterbatasan pengetahuan dan biaya petani.
Di sisi lain, sebagian besar vanili Indonesia masih dijual dalam bentuk biji mentah atau kering, membuat petani sangat bergantung pada fluktuasi harga dunia.
Nilai ekspor Indonesia pun anjlok dari 90 juta dolar AS pada 2017 menjadi hanya 15,2 juta dolar AS pada 2023, akibat pasokan yang tidak stabil, standar mutu yang lemah, dan kurangnya sertifikasi keamanan pangan. Di banyak daerah penghasil, terutama di pulau-pulau terpencil seperti Flores atau Sulawesi, masalah logistik menjadi kendala besar.
Di balik semua itu, akar masalah sesungguhnya terletak pada pengetahuan dan kapasitas petani. Banyak petani belum menguasai teknik penyerbukan, panen, dan pengeringan, serta masih berjuang melawan pencurian polong. Beberapa pemerintah daerah bahkan mewajibkan surat keterangan desa untuk menjual hasil panen sebagai langkah pencegahan.
Situasi ini memperlihatkan satu hal penting, tanpa pemberdayaan petani, pelatihan teknologi sederhana, dan dukungan kelembagaan yang kuat, vanili Indonesia akan terus harum di kebun, tapi belum tentu mengharumkan nama bangsa di pasar dunia.
Strategi meningkatkan daya saing
Langkah penting untuk mengangkat kembali kejayaan vanili Indonesia adalah memastikan kualitas yang seragam dan terstandar. Pemerintah perlu mencontoh langkah Madagaskar dengan menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk panen vanili. Regulasi ini akan membantu menyamakan persepsi petani tentang waktu panen yang ideal serta mencegah spekulan membeli polong muda yang menurunkan mutu.
Di sisi lain, sertifikasi seperti HACCP, Good Agricultural Practices (GAP), serta sertifikasi organik dan fair trade harus didorong agar vanili Indonesia mampu menembus pasar premium dunia. Konsumen global kini menuntut transparansi penuh melalui dokumen traceability, hasil uji laboratorium, dan sertifikat bebas mikroba.
Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan, baik melalui subsidi biaya sertifikasi maupun pembangunan laboratorium regional, agar penerapan standar internasional dapat dilakukan hingga ke tingkat petani dan koperasi.
Saat ini sebagian besar vanili Indonesia masih dijual dalam bentuk biji utuh, padahal nilai tambah yang sesungguhnya terletak pada produk turunannya. Hilirisasi ini sejalan dengan permintaan pasar global di sektor makanan, minuman, parfum, dan kosmetik yang terus meningkat.
Inovasi sederhana seperti penyerbukan buatan, sistem naungan, serta penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) juga terbukti meningkatkan kadar vanilin dan menekan kontaminasi.
Sayangnya, banyak petani masih kekurangan fasilitas pengeringan dan penanganan pascapanen yang memadai. Proses curing, mulai dari blanching, sweating, sun drying, hingga conditioning, sering diabaikan, menyebabkan aroma khas vanili berkurang.
Untuk benar-benar “mengharumkan dunia”, strategi penguatan tidak boleh berhenti di kebun. Banyak daerah penghasil vanili berada di pulau-pulau terpencil dengan infrastruktur yang minim. Jalan sempit, kapal kecil, dan gudang tanpa fasilitas pendingin sering kali membuat kualitas menurun sebelum tiba di Pelabuhan.
Di sisi lain, digitalisasi rantai pasok melalui platform tracking, kontrak jual beli daring, dan sistem pembayaran transparan dapat memperpendek jalur distribusi dan meningkatkan kepercayaan pembeli internasional.
Diversifikasi pasar juga perlu dilakukan agar tidak bergantung pada Amerika Serikat yang menyerap lebih dari 60 persen ekspor. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, dan Timur Tengah memiliki potensi besar jika Indonesia mampu mempromosikan merek seperti “Java Vanilla” atau “Pure Vanilla Indonesia” yang menonjolkan rasa smoky khas Nusantara.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan petani, vanili Indonesia tak sekadar menjadi komoditas ekspor, tetapi simbol kebanggaan bangsa, dan benar-benar mengharumkan nama Indonesia di dunia.
*) Kuntoro Boga Andri, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian
Oleh Kuntoro Boga Andri *)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.