Pentingnya Ikhtiar Bersama Bentengi Remaja dari Jerat Narkoba

Bondowoso, 12/8 (ANTARA) - Memperkuat pencegahan dan pemberantasan narkoba menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia dan menjadi poin tersendiri dalam program Astacita Presiden Prabowo Subianto.
Masalah narkoba, yang peredarannya sudah dalam bentuk jaringan kuat, tidak cukup hanya dihadapi dengan pola penindakan hukum terhadap para pihak yang terlibat. Memberantas peredaran narkoba harus juga diperkuat dari sisi hulu, yakni ketahanan jiwa individu, khususnya generasi muda yang di pundaknya ada beban tanggung jawab untuk membawa bangsa ini terus maju, makmur, sejahtera, atau sebaliknya.
Karena itu, sukses tidaknya program pemberantasan narkoba ini bukan hanya bergantung pada ikhtiar pemerintah, khususnya dalam bidang penegakan hukum, melainkan perlu adanya keterlibatan semua komponen bangsa.
Badan Narkotika Nasional (BNN) mengungkapkan data bahwa ada 312 ribu anak usia remaja (15-25 tahun) di Indonesia yang terpapar oleh candu narkoba. Angka 300 ribu lebih itu merupakan bagian dari angka prevalensi penyalahgunaan narkoba pada 2023 sebesar 1,73 persen atau setara dengan 3,33 juta orang.
Melihat angka prevalensi pengguna narkoba itu, semua pihak harus terlibat, khususnya dalam upaya pencegahan, yakni di lingkungan keluarga dan pergaulan.
Secara psikologis, seorang anak, termasuk kalangan remaja, terlibat dalam masalah, baik sosial maupun hukum, termasuk narkoba, dilatarbelakangi oleh sedikit, bahkan kosongnya isi tangki cinta dalam jiwa pelaku.
Anak-anak yang tangki cintanya tidak penuh, bahkan kosong, akan "mengisinya" dengan melakukan ulah di lingkungan luar keluarga atau dikenal dengan upaya mencari perhatian, termasuk menggunakan narkoba.
Anak-anak remaja yang berulah di luar keluarga hakikatnya ingin mencari pengakuan bahwa dirinya berharga, misalnya dengan mengganggu teman atau bertikai dengan pihak lain, dan menggunakan narkoba, untuk menunjukkan bahwa dirinya gagah, tidak bisa diremehkan.
Hampir dipastikan bahwa anak-anak dengan pola asuh yang membuat tangki cintanya terpenuhi oleh keluarga, tidak perlu mencari perhatian di lingkungan lain, termasuk berulah untuk beradu fisik atau pelarian ke narkoba. Karena itu, anak dengan pola asuh berkualitas, hingga bertumbuh menjadi remaja, cenderung menjadi sosok yang jiwanya kuat karena memiliki benteng mental tangguh untuk tidak terjerumus pada perilaku negatif.
Terkait kasus narkoba ini, idealnya, pemenuhan tangki cinta ini dimulai sejak anak usia 0 tahun, bahkan ketika masih berada dalam kandungan. Bagi orang tua yang masih memiliki bayi atau calon yang masih dalam kandungan, segera koreksi pola hubungan antara ayah (calon ayah) dengan ibu (calon ibu).
Segera hadirkan suasana damai dalam rumah tangga, sehingga pelan-pelan anak merasakan tangki cintanya terpenuhi. Ubah pola komunikasi, baik lahir maupun batin yang selama ini sering digerakkan oleh ego atau saling memaksakan menuju saling pengertian.
Kalau urusan tubuh kita mengenal olahraga, untuk pola komunikasi ini sesungguhnya adalah olah jiwa. Sama dengan olahraga, olah jiwa juga memerlukan latihan, sehingga otot jiwa untuk saling memahami dan menyayangi satu sama lain menjadi kuat. Tentu, semua latihan ini memerlukan komitmen kuat untuk terus dilatih dan diasah.
Alasan, "Ah, tidak semudah itu untuk berubah" atau "Tidak semudah membalik telapak tangan" harus kita buang jauh, dengan prinsip tidak ada yang tidak mungkin jika kita berupaya sungguh-sungguh.
Lalu bagaimana dengan anak atau remaja yang tangki cintanya telanjur bermasalah alias kosong?
Kabar baiknya, tidak ada kata terlambat untuk pengisian energi cinta ini. Bagi mereka yang anaknya sudah remaja, segera ubah komunikasi, dari sebelumnya sering berjarak menjadi lebih dekat dan posisi jiwa setara.
Setiap saat selalu hadirkan suasana damai, sehingga anak merasa nyaman berada di rumah. Kurangi kata perintah, termasuk saran dan kata petuah yang terkadang membuat si anak jenuh. Petuah atau saran akan efektif disampaikan ketika anak secara verbal meminta saran dari orang tua.
Demikian juga dengan orang tua yang anaknya mungkin telanjur terjerat oleh narkoba. Petuah, apalagi ajakan bernada perintah tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Hal itu justru akan membuat si anak menjadi bertambah tidak nyaman berada di rumah.
Sementara bagi para remaja, menjaga pergaulan sangat penting agar terhindar dari jebakan menjadi pengguna narkoba.
Sebagaimana menjadi catatan dari BNN, pergaulan merupakan salah satu pintu masuk seorang remaja terjerat oleh narkoba.
Bagi para remaja yang sudah memiliki ketahanan jiwa, sehingga tidak mudah terjerumus pada perilaku negatif dapat mengambil peran strategis juga untuk ikut menjadi benteng bagi teman seusianya agar mereka tidak mudah terjerat ketika ada bagian dari jaringan peredaran narkoba mengajak mereka mencoba barang haram tersebut.
Pembentengan dari teman sebaya juga tidak kalah penting untuk menyelamatkan seorang remaja dari jebakan para pengedar ini.
Demikian juga dengan sekolah yang hampir separuh waktu dalam keseharian anak-anak atau kaum remaja berada di lingkungan pendidikan tersebut.
Guru perlu membangun kedekatan jiwa dengan para muridnya, bahkan bisa menjadi pengganti orang tua, meskipun komunikasi dan kedekatan psikologis itu hanya di lingkungan sekolah.
Dengan demikian, maka sekolah, orang tua, dan masyarakat di lingkungan terdekat juga menjadi salah satu garda depan dalam melindungi generasi muda dari jeratan narkoba.
Institusi penegak hukum, baik BNN, kepolisian, dan kejaksaan dapat melakukan pencegahan dengan menyasar orang tua lewat pertemuan wali murid atau organisasi siswa di sekolah atau ekstrakurikuler untuk mengajak mereka peduli dalam pencegahan peredaran narkoba.
Berkat kolaborasi semua pihak itulah, maka bangsa ini terbebas dari bahaya narkoba. (ANTARA/Masuki M. Astro)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.