Saatnya Membuka Potensi Laut untuk Ekonomi Indonesia

Jakarta, 02/10 (ANTARA) - Setiap tahun, dunia memperingati World Maritime Day pada tanggal 25 September untuk mengingatkan betapa pentingnya laut bagi kehidupan manusia. Bagi Indonesia, peringatan ini memiliki makna lebih dalam.
Ketika orang membayangkan Indonesia, yang terlintas biasanya sawah hijau yang membentang, hutan tropis yang rimbun, atau hiruk pikuk kota besar. Padahal, wajah sejati negeri ini bukanlah daratan, melainkan lautan. Dengan lebih dari 17 ribu pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dikelilingi laut yang menyimpan salah satu kekayaan hayati terbesar di bumi.
Laut bukan sekadar bentangan air di peta, melainkan identitas nasional sekaligus masa depan kita. Ironisnya, identitas maritim itu belum tercermin sepenuhnya dalam perekonomian. Meski wilayah laut begitu luas, kontribusi sektor maritim terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru sekitar 7 persen, jauh di bawah potensi sesungguhnya. Laut masih seperti peti harta karun yang belum terbuka.
Di sinilah konsep ekonomi biru menjadi penting. Ekonomi biru bukan soal eksploitasi tanpa batas, melainkan keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan: menjaga ekosistem laut tetap sehat, sambil membuka jalan menuju kesejahteraan. Bagi Indonesia, ini bukan merupakan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.
Potensi maritim Indonesia sungguh luar biasa. Menurut pengamat maritim Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, laut Indonesia bukan hanya menyimpan kekayaan alam, tapi juga potensi ekonomi yang sangat besar bernilai lebih dari Rp20.000 triliun per tahun.
Angka fantastis ini tercermin dalam data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang menempatkan sektor perikanan sebagai penyumbang terbesar dengan nilai sekitar 787 miliar dolar AS. Pariwisata bahari menyusul dengan 283 miliar dolar AS, sementara pertambangan, energi, dan transportasi laut masing-masing berkontribusi 225 miliar dolar AS, 86 miliar dolar AS, dan 20 miliar dolar AS. Seluruhnya membuktikan bahwa laut dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Potensi maritim Indonesia tidak hanya bernilai secara ekonomi, tetapi juga peluang kesempatan kerja bagi jutaan orang. Capt. Marcellus mengungkapkan sektor ini mampu melahirkan lebih dari 45 juta lapangan kerja baru, sejalan dengan konsep ekonomi biru yang digadang-gadang sebagai solusi bagi problem ekonomi bangsa.
Laut kita kaya dengan tuna, udang, rumput laut, hingga kerang yang diminati pasar dunia. Namun sebagian besar masih diekspor dalam bentuk mentah, dengan nilai tambah yang minim. Jika kita membangun industri pengolahan, mulai dari makanan, farmasi, hingga kosmetik berbasis laut, maka nilai ekonominya bisa berlipat ganda dan menciptakan jutaan lapangan kerja.
Energi laut juga menyimpan harapan besar. Gelombang, arus, hingga pasang surut bisa menjadi sumber energi terbarukan. Teknologi Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), yang sudah diuji coba di Jepang, sangat sesuai dengan perairan tropis Indonesia. Jika berani berinvestasi sejak dini, Indonesia bisa tampil sebagai pelopor energi laut di Asia Tenggara.
Pariwisata bahari di Indonesia menjadi tambang emas yang ramah lingkungan. Nama-nama seperti Raja Ampat, Labuan Bajo, dan Wakatobi sudah mendunia. Keindahan alam tersebut bukan hanya sebagai destinasi wisata, tetapi juga ekosistem penting yang menopang ribuan spesies dan kehidupan masyarakat lokal. Dengan tata kelola yang bijak, pariwisata bahari dapat menjadi sumber devisa sekaligus menjaga kelestarian laut.
Lebih dari itu, posisi geografis Indonesia di jalur perdagangan global adalah peluang yang tak ternilai. Sekitar 90 persen barang dunia diangkut lewat laut, dan Indonesia berada tepat di persimpangan jalurnya. Modernisasi pelabuhan dan perbaikan konektivitas antar-pulau dapat menjadikan posisi strategis ini sebagai kekuatan ekonomi nyata.
Namun, peluang sebesar itu hadir bersama badai tantangan.
Pertama, biaya logistik kita masih tinggi. Berdasarkan Indeks Kinerja Logistik (LPI) Bank Dunia tahun 2023, posisi Indonesia tercatat merosot cukup tajam, yakni turun 17 peringkat dibandingkan capaian pada 2018. Indonesia kini berada di peringkat ke-63 dari 139 negara, masih tertinggal dari Singapura dan Malaysia. Akibatnya, harga barang antar-pulau mahal dan daya saing produk domestik tertekan.
Kedua, praktik pencurian ikan (illegal, unreported, and unregulated fishing) memberi kerugian besar bagi negara. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2021, Indonesia kehilangan potensi ekonomi sekitar Rp101 triliun per tahun akibat maraknya praktik pencurian ikan (IUU Fishing). Kerugian ini bukan hanya angka, melainkan juga rusaknya ekosistem dan hilangnya mata pencaharian nelayan kecil.
Ketiga, kemiskinan masyarakat pesisir menjadi ironi. Mereka yang hidup paling dekat dengan laut justru kerap paling sedikit menikmatinya. Terbatasnya akses modal, teknologi, dan perlindungan sosial membuat mereka rentan terhadap guncangan ekonomi maupun perubahan cuaca ekstrem.
Keempat, ancaman perubahan iklim semakin nyata. Kenaikan permukaan laut mengancam pemukiman pesisir, sementara pemanasan global merusak terumbu karang dan mengganggu populasi ikan. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga masalah ekonomi dan sosial.
Pertanyaannya, bagaimana memanfaatkan potensi laut tanpa mengulang kesalahan pembangunan darat yang sering mengorbankan lingkungan? Jawabannya ada pada strategi yang berkelanjutan dan inklusif.
Investasi pada pelabuhan digital dan efisien akan menekan biaya logistik dan memperkecil kesenjangan timur–barat Indonesia. Program tol laut harus diperkuat dengan integrasi rantai pasok yang lebih baik.
Alih-alih mengekspor ikan mentah, Indonesia perlu membangun industri pengolahan: makanan siap saji, suplemen kesehatan, hingga bioplastik berbahan rumput laut. Inilah kunci peningkatan daya saing sekaligus penciptaan lapangan kerja.
Mengendalikan overtourism, menetapkan standar lingkungan, dan melibatkan masyarakat lokal adalah syarat mutlak. Pariwisata seharusnya melestarikan alam sekaligus menyejahterakan warga.
Investasi riset dan teknologi energi gelombang, arus, dan OTEC akan memperkuat transisi energi Indonesia menuju masa depan yang lebih hijau.
Namun, pembangunan ekonomi biru bukan hanya soal infrastruktur dan teknologi. Pada intinya, yang terpenting adalah manusia: Nelayan yang menantang ombak, ibu-ibu yang mengolah rumput laut, atau anak-anak muda pesisir yang mencari harapan baru. Memberdayakan mereka berarti membuka akses permodalan, pelatihan keterampilan, dan perlindungan sosial.
Teknologi digital bisa menghubungkan nelayan langsung dengan konsumen, sementara rantai dingin (cold chain) memastikan hasil tangkapan tetap bernilai tinggi.
Pendidikan juga tak kalah penting. Sekolah vokasi maritim dan pelatihan berbasis industri dapat menyiapkan generasi baru untuk sektor perikanan, pariwisata, maupun teknologi kelautan.
Ekonomi biru bukan semata strategi ekonomi, tetapi juga tanggung jawab moral. Laut menyerap karbon, mengatur iklim, dan menjadi rumah bagi jutaan spesies. Jika kita merusaknya, yang hilang bukan hanya sumber daya, melainkan masa depan.
Hari Maritim Sedunia mengingatkan kita bahwa laut bukan halaman belakang, melainkan halaman depan pembangunan nasional, bahkan pintu gerbang masa depan. Tema tahun ini, “Laut Kita, Kewajiban Kita, Peluang Kita” (Our Ocean, Our Responsibility, Our Opportunity), sejalan dengan perjalanan Indonesia.
Indonesia punya semua modal untuk menjadi bangsa maritim sejati, yakni sumber daya alam melimpah, posisi strategis, dan warisan budaya bahari. Yang dibutuhkan kini hanyalah kemauan politik, kerja lintas sektor, dan kesadaran publik bahwa laut adalah napas kehidupan.
Jika berhasil, birunya lautan akan benar-benar menjadi hijau harapan, bagi ekonomi Indonesia, dan bagi masa depan bumi.
*) Dr. Nenden Budiarti adalah statistisi dan pemerhati isu sosial ekonomi
Oleh Dr. Nenden Budiarti *)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.