Upaya Bantul Kurangi Kiriman Sampah ke Tempat Pembuangan Akhir

Bantul, 30/9 (ANTARA) - Permasalahan sampah masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu perhatian serius bagi pemerintah daerah, tak terkecuali Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan sampah tersebut, mulai dari penyediaan tempat pengolahan sampah sistem reduce, reuse dan recycle (TPS3R), pengembangan bank sampah, hingga edukasi masyarakat.
Pemerintah terus mencari jalan keluar bagaimana sampah yang tidak terkelola, terutama sampah rumah tangga, dapat diolah secara mandiri oleh produsen atau masyarakat yang memproduksi sampah itu sendiri.
Pemerintah Kabupaten Bantul telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor B/600.1.17.3/04930/DLH Tahun 2025 tentang Gerakan Pengelolaan Sampah Organik di Rumah. Edaran yang disosialisasikan belum lama ini, salah satunya menekankan jenis pengolahan sampah organik, dengan sistem biopori.
Biopori adalah lubang sedalam 80 sampai 100 centimeter dengan diameter 10 sampai 30 centimeter, dimaksudkan sebagai lubang resapan untuk menampung air hujan dan meresapkannya kembali ke tanah.
Tidak tanggung-tanggung, Pemkab Bantul mewajibkan semua aparatur sipil negara (ASN), non-ASN dan pamong atau perangkat kelurahan menerapkan pengolahan sampah dengan sistem biopori tersebut di sekitar rumah masing masing.
"Setiap rumah aparatur negara diwajibkan membuat lubang resapan biopori di rumah masing-masing dan melaporkannya kepada pimpinan secara konkret, mulai dari proses pembuatan, pemasangan, hingga penggunaan biopori," kata Bupati Abdul Halim Muslih.
Secara teknis, para aparatur negara bisa menyiapkan sistem biopori memanfaatkan pipa PVC sepanjang 100 cm dan membuat lubang lubang kecil dari atas sampai bawah secara keseluruhan untuk sirkulasi udara dan mempercepat dekomposisi.
Kemudian untuk pengisian sampah ke biopori dengan cara memasukkan sampah organik dapur ke dalam lubang biopori setiap hari. Sebelumnya, sampah dipotong kecil-kecil agar proses pembusukan lebih cepat.
Pada saat pengisian sampah bisa ditambahkan air cucian beras untuk mempercepat dekomposisi, sehingga setelah ditutup, biarkan selama dua sampai tiga pekan agar sampah benar benar terurai. Pemerintah pun menganjurkansetiap rumah memiliki beberapa biopori dalam satu area.
Dengan demikian, selain berfungsi untuk meningkatkan daya serap air, lubang biopori juga mencegah genangan, sekaligus mengubah sampah organik rumah tangga menjadi kompos secara alami, dengan bantuan organisme tanah.
Dengan demikian, biopori tidak hanya membantu mengurangi timbunan sampah, tetapi juga memberi manfaat ekologis bagi lingkungan.
Melalui gerakan biopori ini diharapkan dapat menekan jumlah sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA), sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat mengelola sampah sejak dari sumbernya. Jadi, sampah organik dapat diolah langsung di rumah tangga, sehingga lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sistem biopori dalam pengolahan sampah organik memang diakui memiliki kekurangan, seperti volume sampah yang bisa ditampung sangat terbatas, proses penguraian lama, dan kompos baru bisa diambil setelah tiga sampai enam bulan.
Akan tetapi, jika sistem biopori diterapkan oleh semua aparatur sipil negara ASN, non-ASN, dan perangkat kelurahan yang jumlahnya lebih dari 8.000 orang, dan di setiap rumah tidak hanya terdapat satu lubang, maka langkah itu efektif mengurangi sampah rumah tangga.
Apalagi, berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Pemkab Bantul, setiap orang di daerah itu rata-rata menghasilkan sekitar 0,6 sampai 0,7 kilogram sampah per hari. Dari jumlah itu, sekitar 60 sampai 70 persen merupakan sampah organik yang bisa dikelola dan dimanfaatkan kembali.
Tanggung jawab bersama
Pengolahan sampah melalui sistem biopori juga menjadi tanggung jawab semua pihak yang selama ini memproduksi sampah organik, agar bisa menekan atau mengurangi sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah.
Untuk itu, pemerintah daerah menganjurkan pembuatan lubang biopori juga diaplikasikan bagi masyarakat Bantul yang mampu secara ekonomi dan mempunyai lahan memadai di sekitar atau lingkungan rumah tangga.
Dengan demikian, setelah semua aparatur negara diwajibkan menjadi teladan membuat biopori, dipikirkan bagaimana masyarakat umum, dan masyarakat yang mampu untuk membuat biopori di rumahnya masing masing secara mandiri.
Bagi Pemkab Bantul. sampah, terutama sampah organik, yang diolah dengan cara dibakar selama ini menjadi tidak efektif, sehingga lebih baik dimasukkan di lubang biopori yang terbuat dari pipa 100 centimeter yang ditanam dalam tanah tersebut.
Biopori tersebut manfaatnya ganda, yaitu bisa menjadi komposter alam karena sampah yang membusuk akan menjadi popuk organik. Manfaat yang kedua, biopori bisa menyerap air hujan untuk mengurangi banjir.
Terkait hal ini, masyarakat kembali diingatkan bahwa tanggung jawab mengolah sampah pada dasarnya adalah yang memproduksi sampah itu sendiri.
Upaya lain dari pemerintah dalam menangani persoalan sampah juga telah dilakukan, seperti membangun sejumlah tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di beberapa lokasi, dan tempat pengolahan sampah yang dikelola pemerintah kelurahan.
Meskipun demikian, kesadaran masyarakat untuk mengolah sampah secara mandiri juga harus terus dibudayakan, termasuk membuang sampah yang tidak bisa terurai pada tempatnya, agar bisa dikelola pemerintah dan tidak menimbulkan persoalan baru.
Pemkab juga mengingatkan bahwa membuang sampah sembarangan bisa dipidana, karena itu mengganggu kepentingan umum, mengganggu estetika, mengganggu kenyamanan orang dan juga bisa berpotensi menimbulkan benih-benih penyakit.
Jugangan sampah
Selain biopori, sistem pengolahan sampah organik yang bisa dilakukan dari sumber atau penghasil sampah adalah jugangan atau lubang di tanah berbentuk kotak dengan ukuran satu kali satu meter, atau menyesuaikan dengan lahan pekarangan di rumah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bantul Bambang Purwadi menyebut jugangan atau lubang di tanah untuk tempat sampah organik yang saat ini digalakkan di daerah itu merupakan salah satu metode pengolahan sampah yang paling sederhana.
Jugangan menjadi metode pengolahan sampah yang paling sederhana, karena sampah tersebut tidak diolah, tidak dipres, tidak dipilah, akan tetapi sampah sisa makanan tersebut hanya dimasukkan ke dalam jugangan.
Dengan demikian, sampah-sampah daun, sisa makanan maupun sayuran rumah tangga yang tidak dapat diolah kembali oleh masyarakat bisa dimasukkan ke jugangan yang dibuat di lahan pekarangan atau lahan kosong di sekitar lingkungan tinggal.
Gerakan jugangan ini digencarkan di masyarakat perdesaan, terutama di wilayah selatan Bantul, yang merupakan daerah sub-urban, di mana masyarakat tidak kesulitan untuk mencari lahan untuk membuat jugangan.
Meskipun demikian, dalam pengolahan sampah di masyarakat bervariasi, ada yang memanfaatkan langganan truk sampah untuk dibawa ke tempat pengelolaan sampah terpadu, kemudian ada ke TPS sistem 3R di kelurahan.
Hanya saja, karena kapasitas TPS yang terbatas, baik volume maupun luasannya, maka jugangan ini menjadi solusi, dan pemerintah daerah terus menggerakkan masyarakat membuat jugangan sebagai antisipasi di masa-masa tanggap darurat sampah.
Pemkab Bantul menargetkan gerakan pembuatan jugangan yang telah diinisiasi masyarakat Caturharjo Pandak, juga bisa diikuti semua masyarakat secara umum di Bantul, dengan harapan target 5.000 jugangan di seluruh Bantul dapat terpenuhi. (ANTARA/Hery Sidik)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul Upaya Bantul Kurangi Kiriman Sampah ke Tempat Pembuangan Akhir
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.













